
Asmara Dewo | Fotografer M Yamin
Mulai menggeluti dunia literasi, saya selalu bilang: Saya ingin menjadi seorang penulis yang hidup. Penulis yang bukan hanya sekadar menulis, namun membaca setiap komentar para pembaca. Dan dekat dengan mereka. Saya tak ingin menjadi penulis robot, yang tugasnya hanya menulis, tanpa perduli dengan pembaca.
Selain menulis, tentu saja untuk mempublikasikan sebuah karya dan memperkenalkan brand asmarainjogja saya aktif di berbagai forum. Kalau dulu yang paling berkesan forum KBM: Komunitas Bisa Menulis, yang didirikan Pak Isa Alamsyah. Di sanalah saya banyak mendapatkan ilmu kepenulisan.
Namun, karena ada beberapa masalah kecil, ketidakcocokan, saya hengkang dari forum. Sedih memang. Bukan saya tidak menghargai para senior di sana, atau lupa daratan. Saya selalu ingat itu, dan tak pernah lupa awal mula dari mana saya dilahirkan di dunia menulis. Dan saya menganut paham kebebasan berkarya, jadi tidak bisa dilarang, harus begini-begitu.
Selain itu saya juga aktif di blog bersama seperti Kompasiana, dan beberapa bulan terakhir bergabung di Kaskus. Apa lagi coba selain mengibarka bendera asmarainjogja? Kalau hanya kumpul-kumpul dan sharing, rugi dong, habisin waktu, tenaga, dan paket internet.
Nah, jadi di forum Kaskus itu, karena thread saya: Gadis Belia dan Monyet-monyetan, itu mengundang Kaskuser lain dengan tanggapannya masing-masing. Tentu saja pro dan kontra sudah mewarnai setiap tulisan saya setiap dipublikasikan. Wajar. Lantas, ada Kaskuser yang menantang saya untuk menuliskan tentang: Cowok yang Merusak Cewek. Alasannya karena sangat sedikit tulisan yang membahas tentang itu.
Berdegub juga jantung saya membaca permintaannya. Karena lagi-lagi saya berprinsip penulis itu bukan hanya menulis, namun juga membaca. Untuk mencari gagasan menulis bertemakan permintaan Kaskuser tersebut, otak saya pun terbawa arus puluhan tahun silam. Bagaimana saya seperti remaja lainnya. Sebab saya sendiri sekarang sudah cukup tua, Agustus nanti 28 tahun. Layaknya sudah menggendong bayi, kan?
Sebelum memulainya ada baiknya pembaca harus paham hal ini: Penulis itu juga manusia, punya dosa besar dan dosa kecil. Karena profesinya sebagai penulis, tentu saja ia bertanggungjawab di setiap tulisannya sendiri pada Tuhan-Nya. Jika penulis itu punya keyakinan tersebut, tentu saja dia tidak akan menyesatkan pembaca dari karyanya. Itulah dasarnya kenapa penulis selalu mengulaskan kebaikan-kebaikan saja. Nah, pembaca terkadang salah persepsi, penulis itu maha benar, tanpa dosa, orang baik, dan lain-lain. Padahal belum tentu.
Sejak kecil saya dibesarkan di Kandis, Riau. Waktu itu pergaulan di sana cukup ekstrem. Pacaran, pergaulan bebas, narkoba, perkelahian bertumpah darah, mewarnai kota kecil tersebut. Kehidupan seperti itu memengaruhi pola pikir saya. Karena saya masih SMP, ya jadi tidak sadar.
Dan setelah tamat SMP N 1 Kandis, orangtua menitipkan saya di Ponpes Darul Arqom Muhammadiyah Kerasaan, Siantar. Di pondok itulah saya mengenyam pendidikan agama. Belajar ilmu tauhid, belajar syariat Islam, belajar amalan-amalan perintah agama. Dan pelajaran umum tentunya. Namun sayang, karena saya tidak suka dikekang, dan bosan, saya pun memanjat tembok besar pondok pesantren, lalu naik bus jurusan ke Kandis. Sejak itu saya keluar dari rumah pembentuk akhlak tersebut. Sedikit nakal memang. Hanya mengecap ilmu pesantren sampai kelas 2, di semester 1.
Beberapa minggu kemudian, lagi-lagi almarhum bapak terpaksa sibuk mengurus pendidikan saya. Dan kedua orangtua memutuskan agar saya indekos di rumah family di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Paman di Lubuk Pakam itu menyarankan agar saya masuk di SMA 5 Muhammadiyah, sebab memang tak bisa dimasukkan ke sekolah negeri lagi.
Sebagai anak yang penurut, saya pun menganggukkan kepala. Di benak saya waktu itu, yang penting tak ada hukuman, dan makanan tak enak yang disuguhkan setiap hari di dapur ponpes, juga batasan-batasan saya untuk berekspresi.
Selain belajar, saya juga membantu paman untuk menjaga kemananan dan kebersihan di SMA N 1 Lubuk Pakam. Setiap malam, saya dan sepupu tidur di ruang tata usaha milik sekolah, dan esok subuhnya, sudah bangun untuk membersihkan pekarangan dan lantai sekolah. Karena rutinitas setiap pagi itu, saya pun sering telat masuk sekolah.
Orangtua saya pasang surut dalam bisnisnya, walaupun mempunyai beberapa hektar kebun sawit yang tidak begitu luas, namun terkadang belum cukup untuk membutuhi keluarga yang ditanggungnya. Kesadaran itu pula yang membuat saya untuk mencari uang jajan dan uang sekolah dengan cara membantu paman di sekolah.
Ada kisah yang cukup membekas di masa sekolah waktu itu. Dan sebenarnya, ketertarikan pada lawan jenis sudah saya alami sejak masa SMP di Kandis, juga si Ponpes (pondok Pesantren). Namun, di masa remaja putih abu-abu SMA 5 Muhammadiyah, ini yang unik.
Awal mula masuk kelas, dan saling mengenal dengan siswa lainnya. Ada magnet yang begitu kuat untuk selalu melirik siswi yang bewajah chube di pojok kiri kelas. Getaran itu semakin merambah jantung hati saya, curi pandang pun berlaku hampir setiap harinya. Bahkan pernah suatu ketika saya menuliskan coretan di halaman terakhir tentang dia, dan itu direbut dan dibaca oleh teman sebangku.
Dia tertawa cekikikan. Tubuhnya yang kurus tergoncang-goncang membaca catatan yang tak disangkanya, siswa pendiam yang tidak terlalu menonjol di kelas, ternyata menyembunyikan perasaan dengan satu siswi sekelas. Namun, karena saya tidak mengguratkan namanya di catatan itu, teman sebangku itu pun menebak-nebak. Disapunya pandangannya ke arah setiap siswi yang cukup dekat dengannya.
Disebutkannya satu persatu nama siswi itu. Dan saya hanya menggeleng dengan wajah semerah rebusan kepiting. Malu juga diketahui teman, kan?
Hingga pada akhirnya, kami pun berada di ujung perpisahan sekolah. Sekelas kami memutuskan untuk pergi ke Pantai Cermin dengan becak motor. Wah … waktu itu lucu dan ceria sekali, naik becak rame-rame sekelas ke pantai, kenangan masa sekolah yang selalu teringat sampai sekarang.
Setahun setengah perasaan tersimpan apik di hati, mungkin inilah waktu yang tepat untuk memberitahukan pada siswi yang selalu tersenyum ramah dan berwajah ceria itu. Karena saya juga harus pulang ke Kandis, menjumpai keluarga, dan menceritakan pada orangtua bagaimana selanjutnya pendidikan saya.
Setelah menarik napas yang panjang, menstabilkan otak dan pikiran, saya pun memberanikan diri untuk berbicara empat mata pada siswi pujaan. Oh ya, nama saya samarkan saja, ya? Karena tidak bagus kalau disebut di sini, sekarang dia juga sudah punya anak.
“Myta, aku mau bicara. Tapi jangan di sini!” ucapku dengan penuh keraguan.
“Memangnya mau bicara apa, Dewo? Kok sepertinya serius gitu,” penasaran terbalut di wajah manisnya, gigi kecilnya yang rapi tampak jelas, memikat mata untuk terus menatap mulutnya yang kecil.
“Aduhh … gimana, ya? Pokoknya Myta ikut Dewo aja deh! Ini penting, cukup-cukup penting,” ucapku buru-buru dengan nada setengah takut.
“Oke deh,” jawab Myta datar, ia mengikutiku dari belakang. Setelah mengikutiku, langkah kakinya terhenti, seraya berujar, “kita mau mandi di pantai, ya?”
Aku tersenyum, dan sejurus kemudian tertawa kecil, “Hmm, nggak kok. Tapi ya mungkin basah-basahan.”
Keningnya berlipat, namun terus mengikutiku ke arah pantai. Kakiku terus berjalan menyusuri pantai yang tidak jernih itu. Semakin ke tengah, ombak pun semakin besar dan terus bergulung-gulung. Riak kecilnya membasahi wajah kami. Mulut kami pun terasa asin kena cimpratan air laut. Dan aku hanya tersenyum manis, melihat ekspresi wajahnya.
“Mau bicara apa sih, Dewo? Kita udah jauh dari teman lainnya, dan semakin dalam pantainya. Myta takut.” Ucapnya begitu serius, wajahnya menaruh belas kasihan kepada siapa saja yang melihatnya. Begitu juga denganku.
“Ya, udah, kita di sini aja bicaranya,” kakiku terhenti, kemudia kutatap wajahnya begitu lama. Karena esok lusa, entah kapan akan berjumpa dengan Myta lagi, “Myta, sebenarnya … aku udah lama … hmm,” mulutku mendadak bisu. Sulit sekali mengungkapkannya.
Mata Myta yang bulat menyipit, ucapnya kemudian, “udah lama apa sih?” nada yang terucap tak sabar ingin mengetahui lanjutan penjelasanku.
Kumantapkan hati, mencoba menjelaskan sesak di dada selama ini, “Sebenarnya, sejak aku masuk kelas, perhatianku terus sama Myta. Ada sebuah perasaan yang nggak bisa kujelaskan, termasuk aku sendiri bingung memaknai perasaan itu apa. Tapi yang pastinya, aku ada rasa sama Myta.”
Myta tampak sedikit terkejut mendengar ucapan yang baru saja kulontarkan, namun ia paham arah pembicaraanku, “Hm … Myta tau,” ia tersenyum. Dan aku pun tersenyum. Ucapnya lagi, “jadi Mau Dewo gimana?”
“Ya itulah, Myta, aku juga bingung. Sebentar lagi aku juga harus balik ke Kandis. Dan yang pastinya, aku udah beri tahu sama Myta, perasaanku yang mengganjal selama ini. Terserah Myta mau gimana menanggapinya.” Aku menghela napas panjang, serasa lepas beban yang terpikul.
“Ya udah, gini aja, Dewo. Dewo di Kandis selalu kasi kabar Myta. Dewo pernah bilangkan mau mencoba tes TNI. Myta dukung dan doakan Dewo agar cita-citanya terkabul, lalu bisa menjemput Myta di sini lagi.”
Perasaan lega mendengarnya, pesan yang tersirat itu menjadi semangatku di masa remaja ini, “Oke, Myta. Aku pasti kabari Myta selalu.”
Sebenarnya motivasiku ingin mengabdi pada negeri melalui menjadi prajurit loreng itu, karena Myta ingin sekali menjadi Ibu Persit (persatuan Istri Prajurit). Maka aku pun bergegas merancang semua agar aku bisa menjadi pria impiannya suatu hari nanti.
“Udah dingin, Dewo. Yuk, ke tepi!” ajak Myta, tampak bibirnya membiru. Aku mengangguk menuruti permintaannya.
Di bibir pantai teman-teman sekelas sorak-sorai menyambut kami. Terlebih lagi teman sebangku itu, Mamek (nama panggilan) melompat-lompat lucu bercambur senang berbaur puas sudah tahu rahasia yang kupendam selama ini. Dan Myta sendiri tersipu malu saat dirubungi siswi-siwi lainnya. Ya, paling mereka minta penjelasan apa saja yang sudah dibicarakan.
Waktu terus bergulir, ujian demi ujian telah saya lewati di Secaba (Sekolah Calon Bintara), sampai Tuhan menggariskan, maka ditetapkan lah: GAGAL LULUS.
Saya meraung di kamar, menerima pernyataan pahit itu. Seharian di kamar kos, Pekanbaru, dengan mata yang merah dan air yang selalu jatuh tak berkesudahan. Dari mulai keluarga, sahabat, teman, ibu dan putri kos, memberikan dukungan agar saya bisa menerima lapang dada, dan mencoba tahun depan lagi.
Nah, untuk menjelaskan kegagalan ini pada Myta sungguh sulit untuk mengabarkan berita buruk ini padanya. Selain dia pasti sedih juga, kekhawatiran hatinya untuk menerima saya lagi sebagai pria impiannya pasti mulai pudar. Berkecamuk perasaan saya waktu itu, ya sudah, saya putuskan untuk menelponnya.
Setelah mendengar kabar dari saya, Myta pun mencoba menghibur hati saya, dan menyuruh untuk mencoba lagi tahun depan. Sedikit lega perasaan, namun hari-hari berikutnya komunikasi tak lancar seperti biasa.
Saya tidak menyalahkan dia, kenapa dia berpaling. Mungkin karena saya bukan lagi pria impiannya. Wajar juga, sejak dulu memang itulah cita-citanya menjadi pendamping hidup seorang tentara. Baiklah, saya tutup buku kisah ini bersamanya, bersamaan kegagalan menjadi seorang pertahanan Negara.
Sekitar empat tahun kemudian, terdengar dan terlihat di akun facebooknya ia sudah menikah dengan pria idamannya. Impiannya tercapai menjadi seorang ibu Persit. Ada rasa senang, karena impiannya tercapai, namun tak senang juga kenapa pria itu bukan saya. Geram bercampur turut bahagia.
Dalam hal perasaan seperti itu, sepertinya saya adalah remaja yang sering dikadali oleh remaja putri. Itu anggapan saya, tapi bisa juga keliru. Pada saat SMP juga begitu, disakiti berulang-ulang oleh siswi SMP. Dan perasaan-perasaan itu cukup membekas dalam perjalanan masa remaja saya waktu itu.
Dilema menimpa saya saat itu, mau kemana lagi arah tujuan hidup selanjutnya. Saya harus meraih cita-cita yang lain. Masa sulit waktu itu juga menimpa perekonomian keluarga. Saya tak bisa melanjutkan kuliah, hanya sekadar membantu almarhum bapak bertani cabai di Stabat, Langkat. Waktu saya mengikuti tes Secaba, keluarga pindah dari Kandis ke Stabat. Selama lebih kurang dua tahunlah saya menjadi orang baru di sana.
Karena memang tak suka bertani, saya pun meminta izin untuk pergi meningalkan rumah. Mencari pekerjaan di luar kota, sembari meraih cita-cita. Yang lucunya, cita-cita saya waktu itu tidak jelas, mau jadi apa saya pun tak pernah tahu. Terserah pada waktu saja ke mana saya dibawa dan menjadi apa.
Karena termasuk anak yang disayang dan dibanggakan, almarhum bapak pun tak mengijinkan saya untuk meninggalkan rumah. Dibujuk dan rayulah saya agar betah di daerah yang masih baru ini dengan membukakan usaha ponsel kecil-kecilan. Beberapa minggu kemudian Asmara Ponsel pun berdiri di Hinai Kiri, Stabat, Langkat, Sumatera Utara.
Saya menjalankan bisnis itu bersama abang saya. Transaksi penjualan cukup baik, untung lumanyan. Masa itu adalah bisnis baru di dunia seluler, jadi tidak terlalu banyak yang membuka usaha seperti itu. Namun, karena masa remaja, tidak terlalu pintar manajement keuangan, dan ego masih merajai diri. Saya pun hengkang dari ponsel milik sendiri, dan menyerahkan begitu saja pada abang saya. Sebab keluar dari sana, karena ketidakcocokan dengan abang.
Berbulan-bulan mencari uang masuk dari berbagai cara di dunia ponsel. Hingga pada akhirnya tersandung kasus pada rekan bisnis. Waktu itu saya tidak punya modal, rekan inilah yang memberikan modal untuk menjalankan bisnis itu.
Berhubung karena kesalahpahaman, dan ketidaksabarannya untuk cepat mendapatkan keuntungan. Ia pun memaksa saya untuk mengembalikan semua modal yang sudah tertanam. Sementara modal masih berputar, dan tertanam dalam bentuk saldo pulsa dan barang-barang.
Karena saya memang dari kecil tidak suka dipaksa, saya pun mengambil jalan pintas. Uang modal itu saya larikan ke Kandis. Lagi-lagi almarhum bapak harus kerepotan menanggung kenakalan anaknya. Semua usaha modal itu dikembalikan oleh almarhum.
Kehidupan di Kandis sudah tak asing lagi bagi saya. Karena sejak usia 3 bulan saya sudah menghirup udara daerah minyak tersebut. Nah, di kota kecamatan itu, saya pun tinggal di rumah kakak saya. Dari bantuan keluarga dan sisa modal di kantong, saya pun mendirikan usaha kecil-kecilan lagi. Kali ini usahanya kecilnya bukan basa-basi, memang usaha yang tragis bisa dibilang.
Modal saya waktu itu hanya steling kaca kecil, beberapa asesoris handphone, kartu perdana, saldo pulsa, dan jual beli hp second. Letak berdirinya usaha imut itu di sebelah kiri Rumah Makan Mandiri, rumah makan Minang, Pasar Minggu. Lokasi itu cukup strategis untuk jualan, sebab di sana juga ada Bank BRI yang selalu ramai oleh para nasabah. Jarak dari jualan saya, hanya 4 ruko saja.
Jualan saya di antara ruko-ruko toko bertingkat dua, sementara usaha saya sendiri hanya beralas tanah kuning yang terkadang becek, dan beratap tenda kafe. Saat hujan dan angin lebat datang, saya dan teman-teman yang ada di situ terpaksa sibuk harus mengikat tiang dan memasak dari berbagai sisi. Karena kalau dibiarkan begitu saja, maka akan rata dengan tanah. Apalah kekuatan tenda, jika diterpa hujan angin?
Pernah suatu ketika air mata saya menetes, kesedihan mendadak menghunjam hati, setelah duduk termenung di sirami rintik-rintih hujan yang menembus dari atap tenda. Tak tertahankan lagi, saya pun mengadu pada almarhum bapak menceritakan semua jualan saya di Kandis. Namun beliau hanya bilang: Bapak udah bukakan usaha kau, Ra. Tapi, kau malah pergi dari sini. Jadi mau gimana lagi? Kalau memang mau jualan lagi, balik lagi ke Stabat, buka usaha di sini.
Mendengar jawaban dari almarhum, saya urungkan niat untuk meminta modal usaha. Ya sudah, saya pertahankan saja di sini. Bersama hujan, bersama panas menyengat, saya dan sepotong steling kecil ini harus bisa bertahan. Bisa mandiri, tetap tegak berdiri.
Hari terus berganti menjemput waktu untuk dihadapi. Hingga suatu ketika saya tidak berjualan lagi di tenda yang selama ini menjadi sumber penghasilan. Dan malah jualan sembako milik kakak saya. Tak jauh beda jualan barang harian dengan usaha ponsel, hanya saja bisnis ponsel ada keuntungan besar jika terjadi transaksi jual-beli hape second.
Jualan barang kebutuhan sehari-hari, untungnya tipis namun putaran modalnya cepat. Seperti gula sekilo misalnya, keuntungannya hanya bisa seribu atau seribu lima ratus. Walau begitu, sehari bisa menjual empat atau lima kg. Dan belum lagi barang-barang lainnya. Saya jadi berpikir, lebih enak jualan barang harian seperti ini. Selain tidak kena hujan dan panas, untungnya pun lumayan dibandingkan usaha ponsel di bawah tenda itu.
Entah ada pikiran apa waktu itu, otak saya berpikir keras untuk melanjutkan pendidikan lagi. Kalau boleh dibilang, saya tidak kekurangan lagi, sumber penghasilan ada, tinggal meningkat penjualan saja. Dalam benak saya: Aku harus kuliah, ya, harus kuliah.
Keluarga almarhum Bapak dan adik-adiknya di Kandis semuanya di dunia berdagang dan satu-dua berkebun sawit. Ada yang toke ayam, buka toko grosir, warung nasi di pasar, dan lain sejenisnya. Tidak ada yang bekerja di perusahaan atau di kantor pemerintahan.
Untung dan rugi, sukses dan tumpur, silih berganti di dunia mereka. Namun, ada juga yang sudah tumpur tak bisa bangkit lagi seperti kesuksesan sebelumnya. Bisa dibilang, perekonomiannya turun drastis. Kalau sudah demikian, status di mata sosial pun sudah dipandang sebelah mata. Karena di Kandis itu, berbagai pengusaha dan bertani sawit menjadi profesi yang membumi di sana.
Ada ketakutan yang menghantui berhari-hari, kalaupun saya bisa jadi orang kaya melalui usaha seperti ini, tapi tidak memiliki kecerdasan dan pengetahuan umum yang dimiliki seorang terpelajar. Dan saat saya jatuh di kemudian hari, maka sulit lagi untuk bangkit. Begitulah pikiran saya wakt itu. Mulai saya gigit erat-erat: menjadi seorang terpelajar.
Pada tahun 2010, ada program sensus kala itu. Ketepatan Pak RT di daerah tempat tinggal saya termasuk saudara juga, saya bersaudara dengan istrinya. Beliau pun menawari sebagai petugas sensus untuk beberapa bulan. Ini pengalaman baru tentunya dalam kehidupan, hitung-hitung sedikit menambah wawasan di dunia pemerintahan dan mengenal satu persatu warga di sini. Baiklah, saya terima tawaran itu dengan senang hati.
Setelah mulai mensensus penduduk, ada satu keluarga Cina di pertokoan Pasar Minggu yang kami sensus. Nama beliau Bapak Budi, orang tua itu adalah ketua umat beragama Budha di Kandis. Selain bertubuh sudah ringkih, kaki beliau pun sudah terjangkiti diabetes basah. Cukup parah.
Saya senang sekali mengobrol-ngobrol dengan beliau. Kami bercerita tentang pemerintahan, sosial, kemanusiaan, dan pendidikan. Kalau beliau berbicara, auranya terpancar, wajahnya penuh karisma di balik keriput yang tergurat di setiap sisi wajahnya. Ia semakin semangat lagi berbicara, saat saya menanggapi serius, dan menyeimbangi obrolan hangat itu. Karena sudah mulai akrab, kami pun saling mengenal satu sama lain.
Dan akhirnya beliau bilang, “Dewo, kamu kenapa nggak kuliah?”
Lalu saya jawab seadanya, “Nggak ada biaya kuliah, Pak.”
Beliau mengangguk, kemudian berucap lagi, “Kalau ada biaya kuliah murah, dan terjangkau, mau kamu kuliah?”
Dengan mantap saya jawab, “Ya, Pak, saya mau.”
“Baiklah, tunggu kabar dari saya. Tulis nomor hape kamu di sini,” ia tersenyum, secarik kertas ia sodorkan di atas meja.
Jelang beberapa hari kemudian, Pak Budi menelpon saya agar segera ke tokonya. Setelah sampai di toko sepedanya, beliau mengabarkan beritanya, “Kalau kamu memang serius mau kuliah, kamu secepatnya ke Medan! Kamu jumpai teman saya ini, saya sudah menelponnya. Nanti di sana, dia yang mengurus. Kamu tinggal turuti saja perintahnya.”
Mendengar kabar bahagia ini, saya sangat senang sekali. Sepertinya untuk menjadi seorang terpelajar sudah di depan mata. Setelah banyak pesan yang disampaikan beliau, saya pun undur diri. Dan cepat-cepat memberitahukan pada orangtua di Stabat.
Mendengar berita dari saya, almarhum bapak setuju saja. Walaupun ia pesimis untuk biaya kehidupan saya di Medan nantinya. Karena dari keluarga yang tidak berpendidikan tinggi, jadi tidak terlalu hangat disambut impian saya ini. Oke, tak masalah. Saya harus tetap melangkah.
Sampai di Medan, saya ditemani oleh perempuan yang cukup berjasa dalam kehidupan. Dia mahasiswi dari kampus Mikroskill. Sebuah kampus elit di Kota Medan. Mulai mengurus persyaratan kuliah, sampai menjumpai teman Pak Budi di Plaza Deli (sekarang sudah tutup). Ia selalu menemani dan memotivasi saya agar menjadi seorang mahasiswa yang cerdas.
Sepertinya dalam kehidupan saya, kisah bersama makhluk wanita tak pernah berkesudahan. Selalu ada saja yang prihatin, sayang, atau apalah yang pantas disebutkan. Perempuan satu ini tidak begitu kaya, namun cukup orangtuanya membiayainya kuliah. Rumahnya di Stabat Langkat, ibunya seorang guru, dan ayahnya wiraswasta.
Karena semangat keluarganya membiayai kuliah anaknya, sekitar beberapa tahun lalu tamat dari Mikroskill, dan sekarang bekerja di JNE.
Nah, di Medan ini saya sering menghabiskan waktu dengannya. Banyak sekali dia mengajarkan pengetahuan di dunia pendidikan. Karena bidangnnya jurusan Komputer, dia pun tak pernah bosan mengajarkan saya tentang komputer dan berbagai macam lainnya.
Kehidupan mahasiswa pun saya jalani. Bergaul dengan sesama kelas, sampai belajar tekun di kamar kos, dan membaca kitab-kitab hukum, undang-undang, buku-buku berbau hukum. Berdebat, berdiskusi, dengan teman sekos, dan teman sekelas menjadi hari-hari kami sebagai mahasiswa hukum di STIH Graha Kirana Medan.
Sampai suatu ketika, ada anak kos perempuan, menarik perhatian saya. Saling mengenal, dan mulai akrab. Medan tergolong kota bebas dalam pergaulan, warga yang cuek membuat siapa saja keluar masuk dari kamar kos.
Namun, tidak semua demikian, yang jelas sepengetahuan saya selama menetap di Medan, bisa dibilang cukup rawan. Kalau salah pergaulan, jangan heran banyak perawan yang hilang, atau perempuan-perempuan mendadak punya anak yang tak diketahui keluarganya di kampung.
Nah, di kehidupan kos itulah saya benar-benar tahu dan paham pergaulan dengan lawan jenis. Berbagai anak kos ada di sini. Ada yang lesbi, homo, perempuan panggilan, perempuan diskotik sambil jualan pil, pekerja toko, pekerja proyek bangunan, dan sampai mahasiswa seperti saya tinggal di sana. Kami anak kampus ngekos di sana, karena lumayan murah biaya kosnya dibandingkan kos lainnya di sekitar kampus.
Teman saya entah berapa kali berganti pasangan, mulai dari cewek super cakep, sampai cewek biasa saja, pernah bersamanya. Dari yang perempuan baik-baik, sampai perempuan nakal pun pernah digandengnya. Luar biasa memang. Entah apa misi dia gonta-ganti pasangan seperti itu.
Pernah suatu ketika saya tanyain dia, dan jawabnya: Aku pernah suka sama cewek di SMA dulu. Tapi dianya suka sama temanku. Nah, waktu aku ngajak dia keluar. Dia pun setuju, aku pun minta izin sama ibunya. Tapi, udah sampe di luar, dianya malah nelpon temanku yang disukainya. Terus mereka pergi berdua, ditinggal aku sendiri. Itulah Dewo, kenapa aku sama perempuan seperti ini. Kayaknya hilang perasaan kasihan sama cewek.
Itulah alasannya kenapa dia gonta-ganti pasangannya. Walaupun demikian nakalnya dia, atas pengakuannya sendiri, dia nggak pernah merusak perawan anak orang. Tapi ya tetap saja buat rusak fisik dan hati perempuan. Kalau teman-teman yang lain cukup setia dengan pasangannya masing-masing.
Kalau saya sendiri, hubungan saya dengan mahasiswi Mikroskill itu kandas setelah bermain hati dengan anak kos yang sudah disebutkan di atas tadi. Waktu itu hujan cukup lebat di luar, mahasiswi itu memaksa untuk memilih dia atau kenalan saya yang baru itu. Tak ada jawaban yang keluar, saya diam. Begitu bingung. Mengingat kebaikan yang sudah dia berikan selama menjadi mahasiswa.
Namun, di hati yang terdalam, saya memilih perempuan yang baru saya kenal itu. Saya benar-benar terjerat dalam keliarannya. Berat untuk berpisah dengannya. Hingga akhirnya mahasiswi Mikroskill tadi paham atas diamnya saya, ia pun pergi, dan berlari keluar di tengah hujan lebat.
Kesalahan dan dosa, sudah membuat perempuan menangis itu membuat saya terpukul sebenarnya. Tapi karena sifat saya memang tidak mau banyak berpikir. Ya sudah, pelan-pelan saya lupakan dia. Menyesalkah? Jelas iya.
Bersama kenalan baru itulah awal mula kehidupan saya berubah drastis total. Sepertinya saya sudah lupa akan ajaran-ajaran agama dan norma-norma yang berlaku. Dan bodohnya lagi adalah saya mau menerima dia, padahal dia juga punya cowok. Jadi saya itu laki-laki kedua setelah cowoknya itu. Setiap malam Minggu dan Kamis, saya harus menyaksikan di depan mata kepala saya sendiri, berserta teman-teman kos, juga ibu kos, dengan mesranya ia keluar masuk dari kos.
Ah … entahlah, mau dibawa kemana wajah saya, menyukai perempuan yang begitu tingkah lakunya. Tapi apa mau dikata, sulit untuk dijelaskan bagaimana perasaan yang begitu dalam padanya.
Dan akhir cerita, kisah kami usai setelah dia benar-benar memilih cowoknya. Cukup lama jadi lelaki kedua olehnya. Dan faktor lain yang mungkin membuat si cewek milih cowoknya juga karena si cowok memang dari keluarga yang kaya. Nah, saya kere. Habis sudah. Ditinggal mahasiswi Mikroskill dan ditinggal juga dengan cewek play girl itu.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, hidup saya tak pernah lepas dari kehidupan wanita. Ada saja perempuan-perempuan yang tersasar ke hati saya. Jujur saja, saya bukan laki-laki yang suka menggombal atau membujuk rayu. Namun selalu jujur dalam kehidupan saya, sehingga kaum hawa pun simpati mendengar kisah yang ia dengar.
Sejak saya selalu dipermainkan oleh wanita. Dan mengakui juga mempermainkan perasaan si siswi Mikroskill itu. Ada perasaan dendam di hati pada setiap perempuan. Saya pun mulai merasakan perasaan yang sama dengan teman sekos itu, ada dendam karena pernah dilukai oleh perempuan.
Jadi, setiap ada kenalan dengan perempuan yang baru dikenal, pasti berakhir juga. Bosan, tak cocok di hati. Dan lain sebagainya. Gampang sekali bilang: Udahlah bubaran saja! Cari cowok lain, aku nggak bisa kayak dulu lagi. Gila tidak? Enak benar bilang begitu, si cewek tentu saja membekas di perasaannya seumur hidup. Nah, saya, santai saja menjalani hidup. Namun, Tuhan Maha Adil. Setiap apa yang dilakukan anak manusia tentu saja mendapatkan ganjarannya. Dan sudah saya rasakan itu.
Waktu itu kehidupan saya sudah tidak beres, pergaulan yang salah, dan ditambah pula tidak bisa mengkuti ujian kampus karena belum membayar uang ujian. Benar-benar frustrasi, bingung bagaimana menjalani layaknya sebagai anak manusia pada umumnya.
Suatu hari saya tiba-tiba akrab dengan perempuan berjilbab di facebook. Kami saling menyapa, dan bercerita. Dia perempuan yang taat beribadah. Dia seorang mahasiswi di universitas di Kuala Simpang, Aceh. Kami semakin dekat, tak hanya mengobrol dari facebook, juga dari hape.
Ada perasaan yang teduh saat berkenalan dengannya. Dia mengajarkan bagaiman selayaknya seorang laki-laki pada perempuan, bagaimana cara bergaul dengan yang bukan muhrim. Saya mengikuti apa yang dia bilang. Dia pun menyuruh saya untuk sholat dan mengaji. Padahal dua kewajiban ini sudah cukup lama tidak saya amalkan.
Sebenarnya tipe pria seperti saya ini tidak bisa diatur dan ditundukkan, sifat kebebasan yang saya anut dan suka berontak kepada siapapun dan apapun kini luluh oleh ucapannya. Tak pernah menolak apalagi membentak ucapannya. Dan bisa juga dibilang, saya pria yang suka marah pada perempuan, kalau marah tak jarang pula ucapan kasar keluar. Namun, dengannya hilang semua sifat buruk saya.
Karena rasa penasaran dan ingin bertemu dengannya, saya putuskan untuk menjumpainya di rumah. Waktu itu saya berangkat dengan teman saya. Sesampai di sana, ia sepertinya malu dan sedikit salah tingkah. Setelah menghidangkan teh hangat, ia pun melanjutkan mengajar privat di ruang tamu rumahnya. Saya dan teman menunggu sambil mengobrol sampai ia usai mengajar.
Dia seorang gadis yang tidak secantik artis, bertubuh kecil dan agak kurus. Jilbabnya terguntai panjang sampai ke perut. Dan wajahnya tampak bersih dan bercahaya. Beneran, saya tidak mengada-ada. Mungkin karena wajahnya sering dibasuh air wudhu jadi seperti itu. Perempuan berdarah Aceh itu pun selalu mengingatkan, kalau tidur jangan lupa berwudhu dulu.
Setelah selesai mengajar, anak-anak muridnya keluar dari rumah. Dia pun menghampiri kami, lalu mengobrol panjang lebar. Terlihat ibunya ramah menyapa kami, dan mempersilahkan untuk minum teh, kemudian kembali ke dapur, dan hilang di balik pintu.
Sejak kecil, gadis ini sudah yatim. Dia dan adiknya perempuan dibesarkan oleh ibunya saja. Kehidupan keluarganya bisa dibilang pas-pasan. Sebab ibunya hanya berjualan keliling di sekitar kampung itu. Walaupun demikian, semangat ibunya untuk menyekolahkan anaknya sangat luar biasa. Adik bungsunya kuliah di Banda Aceh, karena kecerdasannya ia pun mendapatkan bea siswa.
Hanya seorang ibu dengan pekerjaan apa adanya sanggup menguliahkan anaknya. Saya benar-benar tidak habis pikir, keluarga saya bisa dibilang lumayan lebih baik dari perekonomian mereka, namun kenapa macet-macet biaya kuliah saya.
Setelah kami mengobrol cukup lama, maka kami pun pamit dari rumah yang berdiri di ujung dusun itu. Cukup jauh perjalanan ke rumahnya. Namun bagi saya pribadi, jauh itu kalau tak bisa ditempuh. Selagi masih bisa ditempuh, itu tak pernah jauh dalam prinsip hidup saya.
Pola pikir dan pemahaman hidup saya pun semakin berubah, keluarga tampak heran dengan perilaku perubahan yang terjadi pada saya. Sholat 5 waktu tak pernah tinggal, dan rajin sekali ke Masjid. Menjelang maghrib melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Begitu seterusnya kehidupan saya di kampung, setelah saya lama tidak masuk kuliah lagi.
Sejak saat itu saya juga berhenti merokok total. Tak pernah menyentuh sama sekali tembakau batang itu, bahkan risih jika berada di sekitar orang yang merokok. Saya bisa berhenti merokok karena rajin puasa Senin-Kamis.
Saya sering tanya ke dia melalui sms, sudah makan atau belum? Karena saya cukup prihatin melihat tubuh kurusnya. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya tipe pria yang super cuek. Karena logikanya, ngapain juga ditanya sudah makan atau belum, kalau lapar pasti makan dong anak orang. Tapi Karena dia gadis yang beda, saya cukup perhatian dengannya.
Tahu apa yang dijawabnya? kalau saya sms tanya udah makan ke dia: Lagi puasa, ini kan hari Senin. Jadi malu tanya-tanya, sementara di rumah, saya lagi makan sekenyang-kenyangnya. Dan mungkin juga itulah sebabnya tubuhnya kurus, dan tidak banyak jajan semasa di kampus. Nah, sejak itulah saya mulai berpuasa Senin-Kamis. Dan segera memutuskan puasa Nabi Daud.
Kalau puasa Nabi Daud itu, hari ini puasa, besok tidak. Begitu seterusnya dalam seminggu. Namun, saat saya bilang ingin puasa Nabi Daud ke dia, gadis berdarah Aceh itu tertawa. Puasa Nabi Daud itu baik, namun biasakan saja dulu puasa Senin-Kamis. Begitulah tanggapannya, lagi-lagi saya menjadi anak yang super penurut. Tak membantah.
Pernah suatu malam saya bermimpi. Dalam mimpi saya itu saya sepertinya ada di alam kubur. Sebuah pertanyaan yang biasa diajarkan dalam agama Islam kalau manusia di alam kubur. Siapa Tuhan, siapa Rasul, Kitab Suci, dan seterusnya. Lalu diperintahkan untuk membacakan surat Al-Fatihah. Karena saya mampu membacanya, ya saya baca saja dengan ringan. Kemudian disusul pertanyaan berikutnya, terjemahkan!
Nah, pertanyaan inilah yang membuat saya gelagapan tak bisa menjawabnya. Hingga akhirnya, saya sepertinya ditendang begitu keras. Setelah itu saya terbangun bermandikan keringat dengan degub jantung yang berdebar-debar. Saya lihat pukul 05:00 wib. Saya menghela napas panjang, diiringi rasa ketakutan. Lalu beranjak dari kasur dan segera sholat Shubuh.
Semburat pagi sudah membias di langit timur, anggota keluarga mulai sibuk dengan aktivitasnya. Dan saya sendiri mencari terjemahan surat Al-fatihah di kamar, setelah membaca dari berbagai sumber. Kesimpulannya adalah surat Al-Fatihah adalah inti dari ajaran yang terkandung dalam kitab suci Alqur’an. Setelah mulai paham, saya pun menghubungi gadis berawajah terang itu, melaporkan mimpi yang cukup aneh itu.
Sejak saat mimpi itu, saya pun mempelajari tentang agama Islam lagi. Pelan-pelan saya pelajari ilmu tauhid lagi dan syariat Islam, juga semua yang berkaitan dengan agama.
Dan mulai sadar, hubungan seperti ini tidak cocok dengannya, sekalipun kami tidak pernah melakukan apa-apa. Namun setiap hubungan ada rasa kasih sayang yang berlebihan terhadap lawan jenis, akan menimbulkan zina hati. Zina hati ini seperti perasaan dan imajinasi dalam pikiran kita karena bayangan dari seseorang yang kita cintai. Begitulah pengertian secara sederhananya.
Kalau saja zina hati dilarang Allah, lalu bagaimana lagi dengan pegang-pegangan tangan, dan sampai seterusnya? Tentu saja dilarang keras, dosa besar. Itulah sebabnya Islam melarang untuk berpacaran, sekalipun masih ada sebagian orang mengatakan pacaran versi Islam. Itu tidak benar, itu sungguh keliru. Kalau sudah dilarang ya dilarang, tak ada tawar menawar dalam agama.
Coba deh cari kelanjutannya dari berbagai sumber dan tanyakan pada yang ahlinya, tentang zina hati. Itu akan memantapkan lagi pemahaman yang baik menyikapi hubungan dengan lawan jenis. Walaupun hanya sekadar perasaan saja. Tetap jatuhnya dosa.
Karena memahami zina hati inilah saya putuskan pada gadis itu untuk tidak terlalu sering berkomunikasi lagi dan mengurangi perasaan yang berlebihan itu. Ia cukup terkejut mendengar penjelasan dari saya, dan juga tersadar selama ini hubungan perasaan kami salah.
Maka, kami buatlah kesepakatan untuk menikah. Berhubung dia masih kuliah dan saya kuliah, juga belum punya peghasilan tetap. Ia menyuruh saya untuk menabung untuk biaya pernikahan nanti, dan ia juga menabung untuk meringankan biaya pernikahan itu nantinya. Kesepakatan bulat, komitmen dipegang. Saya mulai menabung.
Saya ambil celengan dari kedai kakak dan mulai memasukkan uang ribuan, puluhan ribu ke dalam celengan yang berbentuk gendang itu. Saat di kampung, mulai Shubuh sampai Malam saya membantu kedai dan warung milik kakak saya. Itulah sumber pemasukan setiap harinya, Kakak saya selalu memberikan uang setiap hari.
Ketika itu saya juga sempat bimbang, antara keyakinan mau menikah atau melanjutkan kuliah. Pendidikan adalah hal pokok yang harus dituntaskan, gelar sarjana harus didapatkan. Siang malam bermohon pada Allah, jalan mana yang harus saya tempuh. Pilihan mana yang terbaik untuk saya. Dan juga secara terus terang mengatakan kegundahan ini pada gadis itu.
Dan pada suatu hari, berderinglah handphone saya. Itu telpon dari teman sekampus. Dia bilang : Masuk kuliahlah lagi. Aku udah bicarakan sama pihak biro, kau boleh masuk kelas lagi. Yang penting bayar uang tunggakan.
Bingung saya merespon teman sekampus itu. Di satu sisi saya mulai menabung untuk biaya nikah, dan sekarang terdengar dari kampus memperbolehkan saya untuk masuk kelas lagi. Mungkin inilah jawaban dari Allah SWT. Saya pun bicara baik-baik pada dia, dan dia bisa memakluminya, juga mendukung pendidikan saya, hanya saja mungkin lebih lama lagi rencana untuk menikah.
Waktu kami membicarakan pernikahan, saya tanya biaya nikah itu berapa. Kalau dia sendiri bilang, berapa saja bisa Dewo. Yang penting kewajibannya saja. Tapi ibu maunya adain pesta. Nah, mendengar adain pesta ini, sedikit kabar buruk. Terus saya tanya lagi, memangnya berapa biaya pesta itu, dan dia jawab: Ya, paling sekitar 20 juta.
Mendengar angka 20 juta menciutkan nyali saya. Boro-boro 20 juta, uang ujian kuliah Rp 300.000 (Tiga Ratus Ribu) saja saya tidak bisa bayar. Itu juga yang membuat saya sedikit hambar. Namun, karena memang niat ingin nikah ya dicoba saja tabung uang dulu.
Sampai di Kota Medan, saya kuliah seperti biasa. Dan tentu juga dengan perubahan yang mengejutkan teman-teman kampus. Setelah cerita panjang lebar, akhirnya mereka bisa paham dan menghargai. Rutinitas kuliah pun berjalan. Masuk kelas, belajar tekun, berdiskusi, membaca kitab-kitab hukum dan kegiatan anak kuliah seperti umumnya.
Di masa periode ini saya mempunyai hobi yang baru. Yaitu mendaki gunung. Walaupun sudah jarang berkomunikasi dengan si Gadis Aceh, namun sekali-dua kali dalam seminggu kami bertukar kabar. Saya bilang sama dia, akhir-akhir ini sering naik gunung Sinabung dan Sibayak. Awalnya dia tidak senang mendengar kabar-kabar saya naik gunung, apa lagi dengan teman-teman cewek.
Saya paham, mungkin dia cemburu. Dan saya jelaskan, naik gunung kami juga ramai-ramai, dan sama si Ayu (Adik kandung saya). Jadi nggak mungkinlah macam-macam. Dia juga selalu mengingatkan, di manapun berada jangan ketinggalan sholatnya.
Di manapun saya berada memang selalu menyempatkan diri untuk sholat, baik itu di kampus, maupun di puncak tertinggi gunung Sibayak dan Sinabung. Selain menyalurkan hobi mendaki gunung, saya juga merasakan kebesaran Allah SWT di puncak ini.
Tat kala tubuh kecil ini berdiri di atas paku bumi, dan mendongak ke langit yang maha luas, juga menaburkan pandangan sejauh mata memandang ke kanan-kiri, saya merasakan makhluk yang benar-benar tak ada sedikitpun kelebihannya.
Merasakan menjadi mahasiswa yang sok cerdas di kelas, merasakan menjadi manusia sombong jalan di bumi, dan merasakan menjadi manusia kuat di antara manusia lainnya. Namun di sini, di puncak ini, saya benar-benar sadar, saya hanya manusia kecil seperti satu titik debu, jika tertiup angin saja melayang, terhempas, dan hilang.
Begitulah saya rasakan kalau mendaki gunung, walaupun saat ini sudah jarang mendaki gunung, namun pemahaman kehidupan yang didapat dari hobi itu selalu menjadi prisnsip hidup sampai sekarang.
Selain hobi mendaki gunung, satu lagi hobi saya bertambah, yaitu menulis. Tahun 2013 adalah awal saya menggeluti dunia literasi. Belajar merangkai kata dalam bentuk puisi, cerpen, dan essay. Berbagai forum aktif menulis saya ikuti, membaca berbagai artikel motivasi menulis, dan membeli buku-buku cara penulisan menjadi rutinitas saya setiap ada uang lebih. Dan juga mengikuti acara seminar menulis.
Dua hobi ini benar-benar menyita waktu saya selain belajar di kampus. Kebetulan juga saya sudah bekerja di Supermarket Giant di Letda Sujono. Jadi keuangan saya lumayan baik, namun begitu, tidak cukup juga untuk biaya kehidupan saya sendiri. Ada saja kekurangan.
Karena cukup padat dan letih setiap harinya, bekerja, kuliah, lambat laun komunikasi saya tak begitu lancar dengan si Gadis Aceh. Dia mulai ngambek dan jutek, dan menuduh macam-macam bahwa saya laki-laki yang ingkar.
Ingkar? Sebenarnya tidak juga. Saya akui, waktu itu, saat pertama kali mendaki gunung Sinabung dengan rombongan yang baru saja saya kenal. Ada seorang gadis kecil yang menyita perhatian saya, dan hari-hari berikutnya selalu terbayang dan teringat jelas wajah lucunya.
Dia gadis belia, wajahnya cantik, putih dan bersih. Lagi-lagi saya selalu terganggu kehidupan dengan makhluk bernama perempuan. Setelah saling mengenal, dia ternyata masih kelas 2 SMK. Jauh sekali usianya dengan saya. Tapi itulah, perasaan tak bisa dibohongi. Ada perasaan yang sulit sekali diungkapkan. Kami cukup akrab, dan kami saling mengenal satu sama lain lebih dekat lagi.
Mungkin karena dia menganggap saya seperti abanganya sendiri, dia pun cukup manja dan percaya pada saya. Sering berjumpa dan mendaki gunung bersama teman-teman kampus lainnya. Untuk menghibur diri dari penatnya kerja dan kuliah, sering juga kami mengumpul di salah satu karaoke untuk menyanyikan lagu sesuka hati. Berbagai suara sumbang dan cempreng menggema di ruangan. Dan gadis SMK itu pun juga ikut bersama kami.
Perasaan ini semakin dalam saja pada gadis kecil itu, karena kami memang mempunyai hobi yang sama yaitu menatap keindahan alam. Kami dan teman-teman lain pun pergi ke Pantai Cermin. Saat itu dia senang sekali, begitu gembira menggelayut di wajah cantiknya. Semakin manis.
Ingin sekali mengungkapkan apa yang ada di hati. Tapi, tidak! Jangan rusak hubungan persahabatan itu! Atau pun dalam versi dia, jangan rusak hubungan antar adik dan abang itu! Saya urungkan niat itu, jangan terlalu egois mengedapankan perasaan saja.
Saya sudah jarang sekali komunikasi dengan gadis Aceh di sana, kalaupun smsan atau saling inbox di facebok. Pasti berujung marah-marah. Ya, dasar saya memang cuek, ya santai saja. Dengan kekesalannya yang di ubun-ubun, ia pun berjanji tak akan mengganggu kehidupan saya lagi, dan melupakan semua janji-janji yang pernah terikrar. Saya menanggapinya dengan dingin, Tidak terlalu masalah.
Sejak saat itu ia benar-benar hilang dalam ingatan. Dan saya sibuk dengan kerja, kuliah, mendaki gunung, menulis, tenggelam dalam berbagai macam buku, dan kumpul dengan teman-teman sekampus.
Dan terjadilah hari yang membuat saya benar-benar terpuruk. Si gadis kecil itu memasang DP (Display Picture) BBM foto dia dengan cowok lain. Awalnya dia juga bilang, di ada dekat dengan cowok di sekolah. Saya hanya menanggapinya biasa saja, namun entah kenapa karena melihat DP itu membuat saya seperti kebakaran jenggot.
Gelisah tak karuan di kamar kos. Tidak semangat pergi bekerja, dan ke kampus. Makan pun tak selera. Hancur sudah harapan. Karena sebab itu pula stress mulai menghinggapi di pikiran. Setelah lama berhenti merokok, saya pun mencobanya lagi. Bersama nikotin yang terkandung di dalamnya, dan kopi yang selalu menemani, melahirkan puisi-puisi yang menyayat hati saya sendiri.
Berbagai puisi yang ditulis serasa hidup karena kesakitan yang begitu dalam. Berhari-hari begitu saja kehidupan saya, tidak ada gairah lagi dalam hidup. Musnah sudah. Bersama puisi-puisi dan karangan-karangan kecil lampiasan kekesalan di dada.
Sebenarnya dia tidak salah, kan? Sayanya saja yang suka dengan dia, dan kenapa juga memendam perasaan itu. Tiba waktunya si gadis kecil pasang foto dengan cowok lain, kok sayanya yang marah-marah, kesal, stress dan lain-lain.
Ingat kejadian itu lucu sebenarnya. Tapi karena saya sudah menerapkan dalam hidup untuk tidak pacaran lagi, maka inilah mungkin resikonya. Lagian juga masih kecil kelas 2 SMK. Memangnya kalau saling suka mau dibawa kemana coba perasaan itu? Hihihi …
Waktu pun terus berlanjut, pelan-pelan saya memulihkan otak yang sudah stress sekian lama. Kembali bekerja normal, dan masuk kelas seperti biasa. Dan pada suatu ketika, berkenalanlah dengan seorang mahasiswi perawat gigi di Bukittinggi melalui fan page Tere-liye. Kami saling mengenal satu sama lain.
Atas pengakuannya juga, dia jarang sekali mengkonfirmasi pertemanan yang tidak begitu jelas dan dikenalnya. Namun berbeda dengan saya, setelah membaca catatan-catatan di facebook dan status, dia pun mengkonfirmasinya. Memang tulisan-tulisan kecil sudah memadati postingan saya di facebook. Kalau pun saya galau waktu itu, kegalauan itu saya ungkapkan melaui puisi-puisi.
Atas pengaukuannya juga dia terkesima setelah membaca karangan-karangan pendek saya. Kami semakin dekat, saling bertukar kabar, dan sering membahas tulisan melaui online. Karena dia juga suka menulis puisi. Jadi, hobi kami sama, yaitu: suka menulis.
Gelap awan yang memayungi kepala ini pun kian cerah setelah mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi agar saya bisa kembali tegak untuk belajar dan meraih cita-cita lagi. Termasuk juga memberikan tips agar bisa berdamai dengan perasaan. Maksudnya adalah bisa menerima ketetapan yang sudah terjadi, berdamailah dengan gadis SMK itu.
Setelah mendengarkan nasihatnya, saya pun kembali menghubungi dan Gadis kecil itu, saling meminta maaf dan menjelaskan semua yang sudah terjadi. Mulai sejak itu, saya dan gadis SMK mulai komunikasi lagi. Tapi, tidak seperti sebelumnya ada perasaan canggung.
Dengan gadis berdarah Minang, saya semakin dekat. Perasaan satu sama lainnya saling paham. Walaupun dekat tak ada istilah pacaran atau saya menembak dia, dan jadian. Puisi-puisi tertulis dari Medan dan Bukittinggi, menandakan ada perasaan hati anak manusia ingin berjumpa.
Suatu ketika, akhirnya kuliah saya macet, karena dari awal semester III, semester V, saya ketinggalan pelajaran. Saya tidak bisa seperti teman lainnya yang mulai menyusun skripsi. Di saat bersamaan pula ketidakcocokan saya dengan pimpinan supermarket memuncak, bosan sekali bekerja di sana.
Dalam benak saya, kalau masih menetap di Medan, Beberapa bulan lagi saya pasti menyaksikan teman-teman di wisuda tentunya. Dan sudah pasti itu adalah pemandangan yang membuat saya terpuruk dan stress lagi. Pada waktu yang mendadak itu pula, saya meminta izin pada semua sahabat karib untuk pergi ke Bukittinggi. Tak lupa pamit dengan si gadis kecil. Ia tampak terkejut, dan wajahnya sedikit mendung.
Sebelumnya ia ceria karena kedatangan saya dan teman, dia pikir karena menggendong cariel (tas gunung) di punggung akan mengajak ia mendaki gunung. Namun wajahnya berubah drastis, setelah mendengar penjelasan daris saya yang sebenarnya. Dua sahabat saya yang menemani sudah beruarai air mata di pojok, terdengar juga suara sesenggukan.
Gadis kecil itu sudah kuliah, guratan wajahnya semakin dewasa, namun tak menghilangkan wajah baby face-nya. Di wajahnya menyimpan rasa tak percaya, jika saya memang benar-benar akan pergi ke Bukittinggi. Hingga akhirnya pun saya pamit, dan membalikkan punggung menunggangi motor. Saya tatap wajahnya sekali lagi, matanya sendu dibalut wajah mendung.
Mungkin dia sudah mulai kehilangan salah satu tempat curhatnya dan kehilangan teman mendaki lagi. Dengan berat hati, motor kami pun keluar dari kosnya. Perasaan saya saat itu bercampur aduk. Di sisi lain saya bahagia, karena akan berjumpa dengan si mahasiswi perawat gigi di Bukitting, di sisi lain saya begitu sedih harus berpisah dengan para sahabat, juga si gadis kecil.
Setelah sampai di Kota Jam Gadang, saya pun menjumpai gadis Minang di kontrakannya. Di kontrakan itu ada enam mahasiswi yang tinggal di sana, semua satu jurusan dengannya. Karena saya sudah sampai di depan pagar, mereka heboh kocar-kacir tampak sibuk dari luar. Mungkin karena pagi, baru bangun tidur mereka malu menjumpai saya, terlebih lagi si dia.
Tidak lama kemudian, saya pun dipersilahkan masuk ke dalam kontrakannya. Kontrakan mereka mewah, bagus, bersih dan minimalis. Dan dikenalkan pula dengan sahabat karibya. Mereka menamai persahabannya itu: Kutu Pink. Sebuah nama yang unik dan lucu kedengarannya.
Kehidupan baru mulai di jalani di kota yang asing ini, di sebuah kota dengan hawa sejuk dan dataran tinggi. Kota Bukitting kota yang dingin sekali, membuat saya jarang mandi di kostan. Pernah hanya mandi 3 kali selama seminggu di sana.
Daerah-daerah wisata pun saya kunjungi di tanah Minang itu. Dan menapakkan kaki di puncak Marapi. Pengalaman yang cukup seru di sana. Di gunung itu pula pertama kali saya melihat bunga edelwish (Bunga Abadi), sungguh cantik dan menawan.
Atas bantuan manager supermarket di Medan, saya pun dikenalkan melalui telpon ke temannya yang menjadi manajer di salah satu supermarket yang terkenal di Bukitiinggi. Lalu beberapa hari kemudian saya pun bekerja sebagai security di supermarket itu.
Pada suatu hari, saya pun berkunjung ke rumah si gadis Minang di Kota Padang. Di sanalah saya pertama kali berjumpa dengan mamanya. Saat itu papanya tidak di rumah, ada keperluan keluarga di kampung, di Pasaman. Ada abang dan adiknya di rumah, kami pun saling memperkenalkan diri.
Seperti ibu-ibu pada umumnya saat dikunjungi tamu dari putrinya. Menanyakan pendidikan, pekerjaan, keluarga, asal-usul, dan berbagai pertanyaan lainnya. Karena saya tipe pemuda yang tidak suka berbohong, apa adanya saja dijawab. Di benak saya waktu itu, kalau memang harus melarang saya untuk menjumpai anaknya lagi. Ya tidak apa-apa. Setidaknya saya berusaha jujur awal pertemuan dengan keluarga dia.
Saya bilang: Kuliah tidak lanjut, kekurangan biaya, karena orangtua tidak mampu. Dan saya tegaskan pula, kalau ada rezeki suatu hari nanti insya Allah akan melanjutkan pendidikan. Sukurlah, mamanya cukup reskpek mendengar jawaban dari saya. Setelah mengobrol, saya pun di suruh makan di rumahnya.
Persiapan mengunjungi rumah dia sudah saya rancang jauh-jauh hari sebelumnya. Karena saya orang Jawa, pasti adat budayanya berbeda dengan si keluarga Gadis Minang. Tentu saja tak mau meninggalkan kesan yang tidak baik nantinya saat mengunjungi orangtuanya. Maka sebelum berangkat, saya minta penjelasan adat budaya saat bertamu di rumah orang Minang dengan Kutu Pink.
Atas pengalaman itu pula saya menuliskan essay di Islampos, berjudul: Sakitnya Seorang Istri, Ada Insan lain yang Tersakiti. Itulah pertama kali karya tulis saya dibaca ribuan orang. Betapa senang hati saya waktu itu. Mulai ada tanda-tanda ada harapan menjadi penulis.
Ya, saya semakin optimis. Di waktu bermasaan itu pula, saya mulai akrab dengan Pimred Islampos, yaitu Mas Saad Saefullah. Atas kemurahan hatinya, tulisan saya sering dimuat di sana. Kami pun semakin akrab dan saling bertegur sapa melalui facebook.
Berbulan-bulan saya tinggal di Kota Bukittinggi, hingga terdengar kabar dari teman kampus bahwasanya saya bisa melanjutkan kuliah lagi STIH Graha Kirana. Kabar baik itu pun saya beritahu pada Gadis Padang. Seminggu kemudian saya pun angkat kaki untuk kembali ke Kota Medan demi menyusul cita-cita saya, menjadi seorang yang terpelajar melalui gelar kesarjanaan.
Sesampai di Kota Medan, secepatnya pula saya mengurus adminitrasi untuk melanjutkan pendidikan. Setelah membayar biaya administrasi, saya pun disuruh pihak biro untuk masuk kelas semester depan. Saya sempat tak enak juga mendengarnya, saya harus masuk kelas. Padahal dulu saya masuk kelas, hanya saja setiap kali mau mengikuti ujian tak bisa membayar uang ujian. Itu saja permasalahannya.
Itulah syaratnya kalau mau wisuda tahun 2015. Hari-hari di Medan pun kian hampa. Mau berapa lama nunggu kuliah, sementara saya tidak ada kegiatan di sini. Mencari kerja di Medan sudah tak semangat lagi. Bosan dan stress menjadi makanan sehari-hari waktu itu.
Saya pun semakin rajin menulis untuk membunuh rasa kebosanan, saya kirim karya tulis ke berbagai media cetak maupun online. Namun, tak ada kabar dari media-media yang saya kirimkan tulisan. Hanya Islamposlah yang selalu memuat tulisan-tulisan saya. Saat itu juga saya berjanji tidak akan pernah mengirim tulisan ke media yang pernah saya kirim sebelumnya, selain media dengan tagline Media Islam Generasi Baru tersebut.
Saya juga sering mengikuti event-event penulisan yang diadakan oleh penerbit indi. Kadang pernah juga mendapat juara satu atau dua. Namun, karena begitu-begitu saja perkembangannya saya jenuh mengikuti event seperti itu. Namun, tetap menulis karena tekad saya sudah bulat, suatu hari nanti harus jadi penulis beneran.
Waktu saya jenuh saat itu, sahabat SMP saya dulu di Kandis yang kini menjadi polisi di Inhil (Indragiri Hilir), Riau, menawari saya untuk bekerjasama menanam cabe di sana. Sambil menunggu waktu untuk masuk kuliah, ada baiknya juga menanam cabe. Atas tawarannya tersebut, apalagi keuntungan dibagi tiga. Dia, penanam modal (dia sendiri), dan saya.
Setelah kesepakatan bulat, dia pun menyuruh saya untuk menunggu waktu yang tepat. Nanti dikabari lagi selanjutnya, setelah itu baru saya berangkat ke Inhil. Berhari-hari, berminggu-minggu, sampai sebulan lebih, barulah terdengar informasi dari dia lagi.
Kabar darinya mengecewakan, menanam cabe dibatalkan. Agar saya tidak terlalu kesal dan marah, saya pun ditransfer beberapa ratus ribu rupiah ke rekening. Ya, karena kami juga bersahabat sejak kecil, sudah saling pahamlah karakter masing-masing, dan bisa saling memaklumi.
Kian suram saja hidup yang saya rasakan. Sepertinya tak ada tanda-tanda kesuksesan. Tak ada harapan lagi di Kota Medan. Teman-teman kampus dulu juga mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing, hanya beberapa orang saja yang benar-benar perduli dengan kehidupan tragis saya.
Dengan gadis kecil, saya hanya sempat bertemu dengannya sekali saja. Karena waktu di Bukittingi ada kerinduan ingin sekali berjumpa dengannya. Saya tanya kabar dan bagaimana perkembangan kuliahnya. Jawabnya kadang lancar, kadang juga tidak. Ya, saya sedikit paham persoalan hidup yang menderanya. Dan selalu saya kasi semangat agar ia harus bisa menamatkan kuliahnya. Jangan seperti saya, yang tidak jelas pendidikannya.
Hari itu dia segera pulang ke rumahnya yang ada di Binjai. Dia bilang dia naik kereta api saja. Namun, saya melarangnya, sebab saya tahu benar Kota Medan dan sekitarnya cukup rawan bagi seorang gadis pada malam hari. Saya pun menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang.
Sepanjang perjalanan, kami bercerita panjang lebar, dan menanyai apa saja kegiatan waktu di Bukittingi. Ya, saya jawab apa adanya. Dan gadis kecil itu juga menanyai tentang gadis Padang, saya jawab juga apa adanya.
Waktu itu teringat benar saya sampai saat ini, sebenarnya ingin sekali kami mengobrol lama-lama sambil nongkrong di kafe atau di warkop. Tapi malang nian nasib saya, di dompet hanya ada uang 20 Ribu rupiah. Kalau di ATM ada sekitar 70 Ribu, bisa ditarik 50 Ribu. Namun, mencari atm dengan pecahan 50 Ribu itu tidak ada. Sekalipun ada di Indomaret, ATMnya sedang rusak.
Saya juga jujur uang didompet Cuma 20 Ribu dengannya tapi ingin nongkrong dulu di kafe sekitar rumahnya. Dia pun tidak keberatan sebenarnya, tapi waktu itu dia juga lagi bokek. Ya, sudah saya putuskan lain kali saja. Setelah sampai di rumahnnya, saya pun kembali pulang ke Medan. Itulah terakhir kali saya berjumpa dengan gadis kecil yang dulu SMK kelas 2, yang kini sudah semakin dewasa.
Waktu-waktu di Medan semakin membosankan saja. Terbersitlah di pikiran saya untuk meninggalkan Kota Horas ini, dan mencari kehidupan baru di pulau seberang. Ya, Kota Jogjakarta menjadi pilihan hidup saya sebagai tempat untuk melewati kehidupan ini. Karena saya tahu kota Jogja adalah kotanya pendidikan dan kota wisata.
Itulah dasar saya pergi ke sana. Sekalipun saya tidak bisa kuliah di Jogja, paling tidak saya bisa membaca puas buku-buku yang ingin dibaca, dan tentu saja bergaul dengan orang-orang yang terpelajar membuat saya lebih banyak lagi menyerap pendidikan nonformal.
Ide konyol ini pun saya kabarkan pada Gadis Padang, mendengar kabar mendadak ini dia tampak sedih, dan berusaha melarang saya untuk tidak pergi ke pulau Jawa. Karena dalam benaknya, Jogjakarta itu sangat jauh. Apalagi dia tahu, saya pasti naik motor ke sana.
Namun begitulah, saya orang yang tak bisa dilarang atau diatur harus begini-begitu. Karena bagi saya pribadi tak ada kata jauh, selagi masih bisa ditempuh. Dan dengan waktu yang tak pernah diduga juga oleh saya, mendadak saya angkat kaki dari Kota Medan. Saya pamit bertatap muka hanya dengan sahabat saya sekos juga teman sekampus. Yang lainnya, saya hanya mengirim pesan.
Bukan tanpa alasan saya bertindak demikian. Kalau izin bertatap muka pada para sahabat sudah pasti saya tidak diizinkan lagi untuk pergi, apalagi kali ini perginya ke Jogjakarta. Dengan berbagai bujuk rayu tentu saja mereka lakukan agar saya bisa betah di Kota Medan. Karena kami bersahabat, sudah seperti saudara sendiri. Baik-buruk sudah saling mengetahui, dan bisa menerima kekurangan satu sama lain.
Pukul 23:00 wib, roda motor saya berdesing meninggalkan kota tercinta Medan dan melaju membelah gelap malam betabur lampu temaram kota. Berhari-hari saya dalam perjalanan menuju kota Jogjakarta. Melewati ratusan kota kecil dan beberapa kota besar. Perbukitan, hutan-hutan, jalan aspal yang dihuni orang desa, saya jalani di atas aspal hitam motor saya.
Pom bensin dan Kantor Polisi adalah tempat tidur saya untuk bermalam. Karena memang tak ada duit lebih untuk tidur di hotel atau losmen. Perjalanan yang meletihkan, dengan dana seadanya. Dan ada pula beberapa teman yang meneransfer ke rekening untuk memastikan agar saya benar-benar sampai di kota tujuan.
Di perjalanan, tepatnya di daerah Krawang. Ada pengendara motor yang kecelakaan. Ramai pengendara lain mengerubunginya, saya perhatikan saja dari jauh. Namun, beberapa menit kemudian, satu persatu pengendara lain pergi begitu saja, tanpa ada pertolongan selanjutnya.
Sebagai sesama pengemudi motor, saya merasa bagaimana suatu hari nanti kalau kecelakaan itu terjadi pada diri sendiri. Diabaikan, dan ditinggalkan oleh sesama pengguna jalan lalu lintas. Ya, sudah saya parkirkan motor di warung di tempat kejadian kecelakaan. Lalu menghampirinya, menawarkan diri untuk mengantarkannya ke Rumah Sakit. Dia pun setuju. Saya bantu dia berjalan dengan tertatih-tatih bersimbah darah. Dan segera mencari Rumah Sakit terdekat.
Setelah sampai di rumah sakit, dan ditangani oleh dokter juga para perawat. Saya pun meminta nomor hape keluarganya, untuk segera menghubungi. Mendengar putranya kecelakaan, orangtuanya pun cemas dan langsung bergegas menuju ke Rumah Sakit.
Karena khawatir dengan cariel (tas gunung) yang dititipkan di warung tadi, saya pun pamit untuk kembali ke warung guna memastikan keamanan ceriel dan motornya yang cukup ringsek parah. Dia pun merestui, berkali-kali dia berujar terima kasih.
Cerita selanjutnya: Dewo: Cita, Cinta, dan Manusia (Bagian II)