
Istana Maimun | Foto AIJ
Asmarainjogja.id – Dari Jalan Sutomo sebuah istana berwarna kuning tampak dari kejauhan. Istana peninggalan Kesultanan Melayu itu menjorok ke dalam, dengan halaman hijau yang cukup luas terhampar di depannya.
Selama ini Kota Medan dikenal dengan Kota Bataknya, sebuah suku bangsa Toba yang mendominasi kota hetereogen ini. Bahkan disebut-sebut pula Kota Medan adalah Kota Batak, padahal kalau kita mau menelusuri sejarahnya dengan pembuktian Istana Maimun yang masih berdiri gagah ini, itu artinya Kota Medan adalah Kota Melayu.
Istana Maimun didirikan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma’moen Al-Rasyid (Sultan Deli ke-IX). Seratus tahun lebih usia istana kesultanan Deli itu masih bisa kita nikmai sekarang. Istana Maimun menjadi cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun dikelola oleh Yayasan Sultan Ma’moen Al-Rasyid, yayasan itu adalah pembentukan dari keturunan Sultan Al-Rasyid sendiri.
Kemegahan Istana Maimun tampak dari depan | Foto AIJ
Di sebelah selatan istana (sebelah kanan) terdapat sebuah bangunan yang terbuat dari kayu, lengkap dengan atapnya. Di dalam itulah meriam puntung yang melegenda disimpan. Sayang sekali, saya tak bisa melihat langsung, sebab pintunya digembok. Mungkin sengaja oleh pihak yayasan agar benda bersejarah tersebut tetap terjaga.
Dari keterangan tertulis di prasasti yang ada di sebelahnya:
Menurut hikayat puak Melayu Deli meriam puntung adalah penjelmaan dari adik Putri Hijau dari Kerajaan Deli Tua bernama Mambang Khayali yang berubah menjadi meriam dalam mempertahankan istana dari serbuan Raja Aceh yang ditolak pinangannya oleh Putri Hijau.
Akibat larasnya yang cukup panas karena menembak terus menerus, maka akhirnya pecah menjadi dua bagian.
Ujung meriam yang merupakan bagian yang satu melayang dan menurut dongeng jatuh di Kampung Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Tanah Karo, sedangkan bagian yang lain disimpan di bangunan kecil sisi kanan Istana Maimoen.
Meriam puntung ada di dalam gedung yang terbuat dari kayu ini | Foto AIJ
Ya, begitulah cerita legenda dari meriam puntung itu. Boleh percaya, boleh juga tidak! Namanya juga legenda, ya tidak bisa bisa dibuktikan secara ilmiah. Namun begitu, kita tetap menghargai dari legenda yang sudah turun-temurun beratus tahunan itu.
Berbagai bunga di sebelah kanan istana, namun sepertinya tidak begitu dirawat secara serius. Buktinya saja batang-batang bunga kertas itu menjulang tinggi, seharusnya batang itu dipangkas, agar kelihatan rapi dan indah. Rerumputan di bawahnya juga tidak rutin dipotong, akibatnya rerumputan itu menjalar kemana-mana. Sungguh tidak sedap dipandang mata.
Setelah melihat taman yang kurang dirawat itu saya pun masuk ke dalam istana.
“Harga tiketnya Rp 5.000, Bang,” kata petugas tiket yang berada di depan pintu masuk istana.
Karena rasa penasaran kenapa taman di Istana Maimun begitu keadaannya, saya pun menanyakan hal itu pada petugas tiket.
“Petugas kebersihan di sini cuma satu orang. Lagian Istana Maimun kan dikelola oleh yayasan, bukan pemerintah. Nah, hasil penjualan tiket inilah yang menggaji pekerja-pekerja di sini, termasuk saya,” jawab petugas tiket itu pada saya.
Andaikan Istana Maimun ini dikelola oleh pmerintah tentu akan lebih menarik dan cantik lagi. Tapi, ya tentu saja, pihak keluarga dari keturunan sultan tidak akan rela istana ini dikelola oleh pemerintah. Mau bagaimana pun keuntungan dari hasil tiket masuk ini kan lumayan besar.
“Kalau bulan puasa seperti ini, pengunjung bisa sampai seratuslah,” terangnya lagi.
Sehabis mengobrol dengan petugas tiket itu, saya pun masuk ke dalam istana. Pada pintu masuk itu, saya dihadapkan dua kursi kuno, dan di dinding terdapat pigura yang sangat besar bergambar seperti bendera-bendera negara. Tapi saya tidak tahu itu bendera apa. Selain itu terdapat pula lemari dan sebuah lukisan yang menempel pada dinding.
Di dalam istana ramai betul penjual asesoris, juga penyewa baju adat melayu. Untuk menyewa baju adat itu penyewa dikenakan biaya Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Di sebelah kanan ruangan, ada keris dalam kotak kaca. Sepertinya itu adalah senjata Sultan Deli pada masa itu. Tidak ada keterangan di sana, jadi saya tidak tahu. Bahkan pula cara, peletakannya saja menurut saya asal letak begitu saja.Kain merah sebagai alasnya terlipat kusut, membuat mata risih melihatnya.
Sebuah rumah yang bentuknya juga mirip istana bisa terlihat dari sini. Rumah itu dihuni, layaknya rumah seperti umumnya. Sepertinya penghuninya adalah salah satu keturunan Sultan Ma’moen Al-Rasyi.
Kursi di dalam Istana Maimun (kemungkinan ini singgasananya Sultan Ma’moen AlRasyid) | Foto AIJ
Di pengujung ruangan ditemukan lagi dua kursi, kalau boleh menerka-nerka kursi tersebutlah singgasana sultan dan permaisurinya. Karpet di bawahnya berwarna merah, selaras dengan warna gordennya yang berwarna merah pula. Singgasana itu diapit oleh lemari hias yang berukiran yang cukup indah. Tapi lagi-lagi mata saya risih melihat, ada tumpukan barang-barang yang ditutupi dengan kain hitam di sana. Saya coba mengintipnya, apa isi gerangan di dalamnya. Ternyata tumpukan itu adalah barang-barang jualan. Hmmm…
Lebih kurangnya Istana Maimun ini tetap bernilai sejarah yang patut dikunjungi, dan semoga saja saat saya berkunjung di kemudian hari banyak perubahan yang semakin baik dari pengelolaan istana peninggalan Kesultanan Melayu ini. Sayang saja, jika dikelola secara tidak profesional membuat para pengunjung jera untuk datang kembali, malahan mencibir di belakang: Istana apaan itu? Kan jadi lucu kalau komentarnya begitu![]
Penulis: Asmara Dewo
Baca juga: