
Ilustrasi wisuda|Sakeeb Sabakka/ Flickr
Asmarainjogja.id – Apa yang salah menjadi seorang kuli? Tentu tidak ada yang salah bukan? Kita tahu bahwa apapun jenis kuli, ia tetap mulia jika dibandingkan si pengangguran kelas wahid. Seperti apa yang pernah diucapkan oleh sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer: “Semua orang yang bekerja itu mulia. Yang tidak bekerja itu tidak punya kemuliaan”.
Menyimpulkan apa yang dituturkan novelis Bumi Manusia tersebut berarti dari kuli yang bergaji 500 ribu per bulan, sampai kuli yang bergaji 100 juta per bulan, mereka adalah orang-orang mulia. Selagi ia masih di jalan yang lurus, tidak neko-neko, dan tak pernah mengambil yang bukan menjadi haknya.
Kemudian jika dibandingkan dengan seorang pengusaha, mana lebih enak jadi kuli atau jadi pengusaha? Sudah pasti kita teriak beramai-ramai: “Jadi pengusaha dong!”. Yang jadi persoalannya adalah ada berapa banyak dari kita yang serius ingin menjadi pengusaha? Faktanya adalah sangat minim.
Saya berkali-kali berdisukusi dengan teman, bicara yang hebat-hebat tentang bisnis, antusias sekali mendengarnya, bahkan katanya ingin sekali berbisnis. Dan lucunya sampai detik ini saya tidak melihat tindakan nyata darinya. Itu artinya kemauan yang tidak ditindaklanjuti. Kalau boleh saya menyesal, rugi juga saya berbicara dengannya. Bukankah setiap pembicaraan yang progresif diselingi oleh ilmu pengetahuan?
Boleh jadi mereka tidak percaya apa yang saya ucapkan, tapi itu tidak masalah. Toh, dipercaya atau tidak, saya sudah berbicara jujur dan terbukti sampai saat ini saya punya beragam bisnis, mulai dari media sampai produk hijab. Teman-teman di Universitas Gadjah Mada (UGM), sudah akrab betul dengan lapak kami jualan di Sunmor (Sunday Morning) UGM. Setiap hari Minggu kami memasarkan ratusan pieces brand hijab kami sana.
Jangan tanya berapa untungnya? Ledakan omzet menjelang lebaran lalu adalah mata rantai dari kesuksesan marketing yang sudah kami buat bertahun-tahun lalu. Artinya apa? Keuntungan bisnis itu tidak mendadak tercipta pada hari itu saja, tapi melalui proses. Sama halnya dengan air sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, yang selanjutnya bermuara di laut.
Kami Juga Seorang Mahasiswa
Ilustrasi widua | Flickr
Pendidikan tidak menjadi halangan untuk menjalankan bisnis. Pahamlah kita soal tugas menumpuk dari dosen yang deadline-nya cuma seminggu. Rizka Wahyuni, Mahasiswi Magister Ilmu Kedokteran Gigi UGM, memang tidak seantusias saya terkait memilih mana yang lebih penting antara bisnis dan kuliah? Kalau saya jelas, pilih bisnis. Toh, pendidikan yang saya harapkan dari dosen yang seharusnya lebih hebat, tak terpenuhi. Hal ini membuat saya lebih semangat lagi mengumpulkan rupiah di lapak penjualan, daripada mendengar ocehan dosen yang ngalur-ngidur di kelas, pembahasannya di luar materi. Sudah seperti pendongeng saja untuk menidurkan selusin anaknya yang tak diberi susu.
Kacaunya lagi, mahasiswa cupu terlelap oleh cerita si pendongeng.
Saat ini mahasiswa harus bisa mengambil peluang yang ada di sekitarnya, untuk dijadikan sumber penghasilan. Bukan sibuk semalaman main game di warnet, sibuk pula main game mobile legend dari smartphone-nya, atau juga setiap menit pamer foto, video yang tidak penting ke semua akun medsosnya.
Wowww…. Senangnya kalau sudah di-like atau dikomentar. Komentar sampai bergunjing pun terjadi di kolom komentara. Sesembari baca berita infotainment yang tak tak kalah tak pentingnya. Realita anak zaman now.
Harus Berpenghasilan, Karena Biaya Pendidikan Mahal
Kita harus sadar biaya pendidikan itu mahal sekali, kawan-kawan? Entah kalau kalian dari keluarga orang kaya, mungkin mengeluarkan uang 7 atau 10 juta per semester itu tidak masalah. Namun, jika kita dari keluarga apa adanya, makan di rumah pun sesekali ikan laut, lebih banyaknya tempe atau ikan asin, apa pantas anaknya berlagak sok sekali di kampus? Dan yang tahunya hanya bisa mengeksploitasi uang orangtua.
Kan, harus berpikir mahasiswa yang seperti itu? Pikir bagaimana cara cari uang itu! Nah, ingat dosen tak mampu mengajarkan bagaimana caranya menghasilkan uang. Yang dosen tahu hanya menyuruh mahasiswa hukumnya suatu hari menjadi pengacara, jaksa, hakim. Karena si dosen itu ketika masih menjadi mahasiswa itu tidak kreatif, tidak punya pengalaman mencari penghasilan sendiri waktu masih kuliah. Wajar si dosen tak bisa mengajarkan secara detail bagaimana cara menghasilkan uang melalui bisnis.
Kacaunya, saya pernah mengikuti seminar bisnis yang katanya “bisnis zaman now” di kampus. Setelah saya simpulkan, mulai dari awal sampai akhir, yang diselingi makan nasi plus ayam goreng, dan didesak suruh cepat masuk lagi karena acara sudah dimulai, itu merupakan seminar bisnis buruk sepanjang yang saya tahu.
Sebuah seminar yang menggiring pesertanya untuk bergabung di sebuah perusaahaan. Menariknya mereka cantik main, samar-samar mengelabuhi pesertanya dengan iming-iming menjadi entrepreunersip yang sukses. Jadi mereka bisa terlepas dari tudingan peserta cerdas nan kritis saat itu.
Ke depannya, sebaiknya pihak kampus jeli melihat kegiatan yang akan diselenggarakan di kampus. Jika seminar bisnis, ya, seminar bisnis, jangan ada embel-embel untuk menggiring. Tidak semua anak itik menurut pada induknya.
Mungkin sebaiknya saya yang mengisi seminar tersebut berdasarkan pengalaman dari teori-teori ilmu bisnis yang sudah saya terapkan. Bukan sombong! Tapi memang begitu sepatutnya. Karena bisnis itu bukan menciptakan barang lalu dijual begitu saja. Jauh dari itu! Panjang sekali jika saya jabarkan ilmu bisnis di sini.
Jangan Dengarkan Lagi Si Pembual!
“Kalau kamu ingin menjadi orang hebat, dengarkan apa yang sudah dilalui orang hebat. Bukan mendengarkan dari si pembual, biar dianggap hebat”. Jangan jadi orang cupu di atas bumi ini, jika masih betah dengan predikat cupu, selanjutknya kamu akan selalu menjadi korban dari orang-orang yang memanfaatkanmu. Apapun itu bidangnya.
Inang-inang di Pasar Sambo (Medan) atau mbah-mbah di Pasar Keranggan (Yogyakarta),jauh lebih hebat mengajarkan ilmu marketing daripada orang-orang yang tidak punya bisnis tapi bicara teori marketing. Percayalah! Terlebih lagi mahasiswa yang cuma bermodal 1 buku marketing yang ditulis oleh blogger tak berkualitas.
Ciri-ciri orang sukes, orang hebat, orang yang dianggap sudah maju dan berkembang biasanya dipantik dulu baru berbicara. Jika tidak ada api, tidak ada asap, ia pastinya sibuk dengan dunianya sendiri. Orang seperti itu berbicara hanya pada orang yang benar-benar ingin mendengarkannya. Bukan sebaliknya, berbicara sampai berbusa-busa agar orang lain mengamininya.
Kepercayaan itu hanya sekali, jika sudah habis maka selesailah. Apa lagi yang ingin didiskusikan? Kita tidak punya waktu mendengar kata-kata si pembual, tidak sudi pula duduk berlama-lama mendengar ocehannya. Baiknya membuka buku, atau membaca situs online inspiratif yang membawa perubahan kehidupan.
Begitu juga dengan pengisi di seminar bisnis, boleh jadi dia hanya menjual kata-kata (lebih dekat dengan pembualan), yang bisa kamu cari sendiri dari artikel berita bisnis atau buku bisnis. Sebab dia memang tak punya ilmu dan pengalaman di dunia bisnis, ilmu bisnisnya hanyalah bagaimana caranya agar ia bisa diundang di acara seminar. Itulah modalnya, menjual diri dengan ilmu ala kadarnya.
Tampaknya Kamu Generasi Kuli Selanjutnya
Sub judul di atas Ini bukanlah pernyataan yang angkuh atau merendahkan, hanya saja jika itu mengusik, maafkanlah meskipun itu bisa terjadi. Alasan sederhananya adalah karena pendidikan Indonesia mengajarkan demikian, jadi lah seorang pekerja yang sukses. Bekerja apa saja, entah itu di perusahaan negara, maupun swasta. Yang temanya tetap saja kuli.
Otak kita sejak masih sekolah dasar memang sudah dibenamkan memori kuli (pekerja). Jadi ketika si anak ini terus berkembang selalu mengakses “kata kunci” kuli di otaknya, yang kemudian dikomunikasikan, dan berakhir menjadi tindakan. Ya, tindakan menjadi seorang kuli. Maka jangan heran mahasiswa cupu akan semangat sekali jika dosen mengiming-imingi kelak ia akan menjadi sarjana sukses. Meskipun versi dosen sukses itu adalah kuli. Di dunia mereka itu tetap sukses. Tidak ada yang salah memang.
Yang salah adalah orang yang banyak bicara dan menulis tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mungkin dompet bisa tebal? Bisa traktir si doi makan, atau traveling yang tidak usah jauh-jauh, di sekitar Yogyakarta saja, yang tiket masuknya masih 3.000-an. Sungguh ini tidak mungkin bisa dilakukan bagi mahasiswa pemalas dan hanya bisa mimpi di siang bolong. Sementara mahasiswa yang gigih sudah merancang masa depan, ia sudah berlari membawa bisnisnya. [Asmara Dewo]
Baca juga: