Home Fiksi Sunset di Parangtritis

Sunset di Parangtritis

25 min read
0
0
47

Pantai Parangtritis | Foto Indonesiakaya.com

Oleh: Asmara Dewo

Bulan  menggompal di langit malam. Bintang gemintang bertebar liar di angkasa. Ibu Anata kesehatannya mulai pulih. Selera makannya sudah lancar. Gesit bergerak ke sana-sini, meskipun berkali-kali diingatkan Anata. Wajah perempuan yang mulai keriput itu tampak lebih segar. Sisa kecantikan di masa remaja masih tergurat di wajahnya.

“Jadi kapan kalian mulai berkebun?”

“Sabtu depan, Bu. Kalau tidak ada halangan lagi,” Anata menyesap wedang jahenya.

“Di mana alamatnya? Ibu lupa.”

“Jauh, Bu, di Pantai Jungwok.”

Ibu Anata mengangguk, senang mendengar kabar dari anaknya.

“Kalau mahasiswa seperti kalian ini semua, ibu yakin tidak perlu lagi perempuan-perempuan Yogyakarta harus bekerja di luar negeri. Ya, seperti ibu dulu. Sulitnya bekerja, dan kecilnya upah membuat ibu harus meninggalkan kota ini,” tiba-tiba wajah tua itu berubah. Berubah pilu. Mengenang puluhan tahun silam.

“Anak-anak Yogyakarta memang pintar-pintar, tapi hanya sedikit yang berfungsi terhadap masyarakat. Fungsi yang ibu maksud bisa memberikan solusi ekonomi warga kecil. Nah, saat ibu mendengar cerita kamu, ingin berkebun lidah buaya untuk warga pesisir pantai Gunungkidul, ibu sangat senang, dan bangga.”

Wajah Ibu Anata kembali ceria. Tersungging senyuman di bibirnya.

“Andai Ana masih hidup, dia pasti semangat bekerjasama dengan yang lainnya,” Ibu Anata mendongakkan wajahnya.

Anata hanya mendengar, membiarkan suara ibunya mengalir.

“Sayang. Oh, sungguh malang, Ana terlalu cepat dijemput Gusti Allah.”

“Gusti Allah sayang Mbak Ana, Bu.”

Mereka mengangguk bersamaan.

“Oh, iya, bagaimana kamu dengan Icow?” tanya Ibu Anata. Pertanyaan itu diluar dugaan Anata.

“Eh, bagaimana, ya? Biasa saja. Taaapi kami sekarang mulai akrab.” Anata kikuk menjawab. Pipinya memerah.

Seperti tahu tingkah laku anaknya, Ibu Anata mencairkan suasana, “Lidah buaya itu bagus untuk kesehatan. Bagus untuk kulit, bisa bikin wajah awet muda.”

“Kalau itu Anata juga tahu, Bu,” Anata tertawa, “Ibu bicara melompat-lompat.”

Ibu Anata tertawa, “Tapi Icow ganteng, kan? Pasti kamu suka,” tangannya menjawil hidung Anata.

Kali ini Anata tak bisa menjawab. Wajahnya benar-benar seperti kepiting rebut.

***

Musik pop mengalun lembut. Anata tiduran sembari melanjutkan buku diari Ana. Jemarinya membuka pembatas kertas. Di halaman itu, Anata seolah-olah masuk ke dalam cerita yang ditulis kakaknya.

Minggu pagi yang paling indah kurasakan. Entahlah, sulit untuk mengungkapkannya di sini. Hanya saja, Cow, akan aku abadikan dalam catatan ini. Ya, mungkin catatan yang bisa membuatku selalu mengenangmu, mengingat namamu meskipun suatu hari nanti nama kita tidak pernah bertautan. Aku pesimis akhir-akhir ini, menduga-duga, jika benar firasatku kita tak pernah bersama. Ini seperti pesimis dari seorang pecinta dalam diam. Tahu, jika besarnya cinta itu akan meluap tak berkesudahan. Mematikan api porosnya. Ah, aku takut, Cow. Takut berkata jujur, tapi itulah yang kurasakan, Cow. Semoga kau mengerti.

“Capek?” katamu. Peluh berguguran dari balik bajumu. Duduk di atas pasir, sejengkal dariku.

Aku mengangguk, membasahi tenggorokan yang kau sodorkan dari botol minummu.

“Baru kali ini bersepeda sejauh ini?”

“Ya,” aku jawab.

“Bersepeda itu memang melelahkan, tapi juga menyenangkan. Badan kita juga sehat. Ya, aku juga tidak ingin cepat mati karena penyakitan,” kau tergelak. Pandanganmu hanyut di pusaran ombak Pantai Pelangi.

Aku asyik melukis namaku sendiri. Sesekali ombak menghapus nama itu, aku tulis lagi. Berkali-kali. Ternyata kau memerhatikan telunjukku. Tertawa. Tawa yang merendahkan.

“Kalau mau mengabadikan nama, jadilah penulis. Sejarah akan mencatatmu. Generasi di masa yang akan datang akan mengenalmu. Boleh jadi apa yang ditulis hari ini memengaruhi peradaban,” kata-katamu mulai serius. Aku mendengarnya dengan takjim. Walaupun wajahku terus merunduk.

“Eh, Cow, sebenarnya aku mau belajar menulis seperti kamu. Karyanya dibaca banyak orang, terkenal. Bagaimana, sih, perasaan kamu dikenal banyak orang dari tulisan?” kataku. Mentari menerpa wajahmu.

“Perasaan? Aku bingung jawabnya apa,” kau tampak salang tingkah.

“Maksudku senang tidak?” desakku ingin tahu.

“Ya, senang, karena tulisan kita dibaca banyak orang. Soal terkenal atau tidak karena tulisan, aku, sih tidak pernah memikirkan itu. Pernah, sih, anak-anak SMA waktu di perpustakaan mereka sangat antusias mendengar pengalamanku menulis. Katanya, sih, mereka ingin menjadi penulis juga. Aku juga tidak tahu bagaimana perkembangannya sekarang, apakah ucapan itu serius atau tidak. Atau cuma basa-basi saja saat berjumpa denganku.”

“Memang kamu bilang apa sama mereka?”

Ombak bergulung tinggi. Buihnya berserakan sampai ke tepian pasir. Menjilati jemari kakiku. Perlahan awan mulai membiru. Awan putih yang menggumpal berarakan. Sepanjang jauh mata memandang, Samudera Hindia tak berujung.

“Aku bilang saja, menulislah dari pengalaman-pengalaman. Karena menulis dari pengalaman kita sendiri itu mudah,” ucapmu yang selalu kuingat.

Menulislah dari pengalaman, kata-kata itu kulafadzkan berulang-ulang di dalam hati.

“Menulis dari pengalaman?” aku mengonfirmasi lagi.

“Ya, dengan begitu kamu akan menjadi penulis yang dikenang pembaca. Tahu kenapa?” kau malah balik bertanya.

Aku menggeleng cepat. Mana aku tahu dunia literasimu.

“Pengalaman setiap anak manusia memang berbeda-beda, tapi punya garis kesamaan. Misalnya kisah persahabatan, kisah cinta, atau kisah perjuangan. Nah, kalau penulis menceritakan pengalamannya dalam bentuk cerita, boleh jadi pengalamannya hampir sama dengan pembacanya. Jadi pembaca itu akan selalu teringat dengan penulisnya, karena seolah-olah mewakili pengalaman dan perasaannya. Itu maksudku, Na,” uraimu panjang lebar. Kini aku paham maksudmu.

“Jadi selama ini kamu menulis dari pengalamanmu?” aku ingin tahu rahasia di balik tulisanmu.

Kau melempar bebatuan kecil di permukaan pantai. Memantul sampai tiga kali. Lalu menolehku dengan tatapan yang lembut. Penuh ketenangan. Tatapan yang paling kusuka darimu. Tidak pernah jenuh menatap bola matamu. Di sana ada kilatan yang berbeda. Jujur saja belum sekalipun aku melihatnya dari bola mata lelaki lain.

“Iya, tapi tidak semua,” kau sudah duduk lagi di sebelahku, “aku memang sering menulis pengalaman-pengalaman yang sudah aku alami. Dan tentu saja digabungkan dengan teori yang aku pelajari, dan mengutip pemikiran-pemikiran tokoh berpengaruh di dunia.

“Oh, seperti itu?” wajahku mendongak. Kau tersenyum.

“Iya, seperti itu. Kamu mau mencobanya?!” tantangmu. Alis tebalmu terangkat sebelah.

“Akan kucoba.”

Sepulang dari sepedaan itu, Cow, badanku pegal-pegal. Rasanya seperti remuk tulang belulangku. Oh, sakit semua badanku. Apesnya aku malah mendapat pesan dengan nada ejekan darimu. Urhhhh.. aku marah, geram, tapi bahagia mendapat pesan darimu. Perasaan seperti apa itu? Aku sendiri bingung, hihihi.

“Capek? Pasti capeklah. Tapi belum seberapa bagaimana kalau kita berada di posisi perempuan buruh bangunan. Seorang ibu pula. Kamu bisa membayangkannya sendiri.”

Awalnya aku jengkel membaca pesanmu, tapi setelah aku lanjutkan. Aku langsung membayangkan bagaimana letihnya menjadi buruh bangunan di terik matahari yang membakar kulit. Sungguh, Cow, aku tidak sanggup lagi membayangkannya.

 

***

“Ah, aku pikir kamu tidak melupakan Bandung,” ucap Randu dari seberang handphone.

“Bandung selalu istimewa, seistimewa Yogyakarta,” kilah Anata. Dia duduk santai di beranda rumah. Bunga-bunga di halaman mengembang menggoda. Kumbang dan kupu-kupu bergantian bergelantungan di kelopak matahari.

“Lalu?” desak Randu.

“Lalu apa?”

“Kapan pulang?”

“Nanti aku kabari, aku masih ada kegiatan di sini,” suara Anata mulai sebal. Cecaran pertanyaan Randu mengubah air wajah Anata.

“Aku selalu menunggumu. Dan itu lama sekali,” suara Randu terdengar ditekan.

“Siapa yang suruh nunggu?” ketus Anata.

Randu terdiam. Seperti menyusun kalimat yang kooperatif. Pengulangan kata yang lebih ramah. Nada suaranya kini berbeda.

“Maksudku, aku rindu kamu,” tertawa pelan, Randu mencoba menggombal, “rindu ini semakin memuncak. Laharnya akan muntah. Kamu tidak takut? Hahaha.”

“Itu urusanmu, bukan urusanku,” Anata ingin mengakhiri obrolan mereka, “sudah dulu, ya, aku ada kerjaan.”

Buru-buru Randu mencegah, suaranya yang memaksa, “Eh… tunggu! Tunggu!,”

“Apa lagiii?!”

“Kamu tidak rindu aku?”

“Tidak!” bentak Anata. Komunikasi terputus.

Dasar, cowok labil, Anata mendesis. Mencari nama kontak lain di handphone, memanggilnya.

“Hai, Cow,” sapa Anata. Katanya lagi, “sibuk hari ini?”

“Tidak ada agenda. Kenapa?” jawab Icow. Tangannya masih mengelus-elus Bi dan anak-anaknya.

“Seperti ada suara kucing di sana. Lagi ngapain?”

“Oh, ini aku baru beri makan kucing-kucingku,” sahut Icow. Ia berdiri melepaskan hewan berbulu itu. Duduk di posisi yang nyaman, “kamu sendiri?”

“Lagi bete, nih. Jalan-jalan, yuk?! Bosan di rumah terus,” keluh Anata.

“Hm, ya… ya… aku ada ide. Bagaimana kalau kita sepedaan ke pantai?” suara Icow renyah terdengar.

“Ke mana?” buru-buru Anata menyahut.

“Sekitar Pantai Parangtritis. Di sana asyik bersepeda. Itu pun kalau mau?”

“Kalau aku tidak keliru, kamu dan Ana sering ke sana, ya?”

“Iya,” jawab Icow.

“Oke, kalau begitu kita sore ini kita ke sana. Kita lomba, finish-nya di pos retribusi. Yang kalah traktir nonton. Berani?!”

“Hahah… siap,” Icow sudah berdiri, “tunggu aku 45 menit lagi. Kupastikan aku sampai di depan rumahmu.”

Icow Bergegas berganti pakaian. Bi dan anak-anaknya menjauhi Icow. Induk menggaruk-garuk telinganya, sedangkan anak-anaknya mulai mendekatinya. Rocky sudah meluncur dari bagasi rumah Icow dengan kecepatan maksimal. Tas kecil menggantung di punggungnya. Pedal dikayuh dengan kencang,  gear di posisi terkecil. Roda berputar kencang membelah aspal. Icow menyalip kendaraan yang lambat seperti penyu. Gesit, Icow membanting stang ke kanan-kiri.

***

“Terlambat lima menit!” Anata berseru. Wajahnya dimiringkan, rambutnya tergurai panjang. Warna helemnya senada dengan warna sepedanya, hitam-putih.

“Maaf-maaf, tadi sempat macet total di Jl. Paris,” Icow beralasan.

“Mana aku tahu, dan aku tidak mau tahu. Yang jelas kamu telat!,” Anata pura-pura marah. Lalu tertawa panjang.

Anata sudah menyambar sepedanya, melompat. Langsung mengayuh kencang. Icow yang baru saja menarik napas, terpaksa mengejar Anata.

“Ayo, kejar aku!” teriak Anata yang semakin jauh.

Sialan, perlombaan sepeda seperti apa ini?  Icow mendesis.

“Hei! Kamu curang! Mana ada lomba sepeda gaya begini?!” berontak Icow yang terus mengejar Anata.

Sepeda mereka sudah di jalan beraspal. Kencang tanpa basa-basi, melirik kiri-kanan. Kendaraan di jalan besar-besar, bus pariwisata berlalu-lalang. Motor muda-mudi yang saling berboncengan memenuhi jalanan. Wajah Icow cemberut, merasa dibohongi dengan Anata. Anata sendiri melaju tanpa henti, tak perduli lampu merah.

Wih, nih, anak main terobos saja, batin Icow. Dia pun ikutan menerobos lampu merah. Tak mau tertinggal jauh. Jarak mereka sepuluh meter lagi. Icow dengan kecepatan maksimal berusaha mengejar Anata. Merasa sudah dibuntuti Icow lebih dekat lagi, Anata pun mengoper gear  giginya. Roda berputar semakin kencang. Melesat jauh. Melampaui berbagai kendaraan di depan.

Dua sepeda yang saling berkejaran itu sudah berada di Manding, lokasi sentra kerajinan kulit. Lampu merah baru menyala, Anata masih sempat menerobos. Dia menoleh, sempat memberikan senyum jahil ke Icow.

Klakson kendaraan bersahut-sahutan. Icow sama sekali tak sempat mengambil peluang hitungan detik itu. Terpaksa merem mendadak, menatap punggung Anata dari kejauhan. Tak mau mau tertinggal jauh, Icow pun belok kiri, lalu melintas di antara kendaraan yang berseliweran.

Hamparan sawah hijau terbentang di sisi jalan. Kemilau matahari sore dari arah barat lembut menyapa. Tertinggal jauh, jarak mereka sekarang 40 kilometer.Tidak memberikan peluang sedikit pun pada Icow, Anata terus saja mengayuh sepedanya. Sekencang-kencangnya. Rambut hitam legamnya tergurai disapu angin jalanan. Senyum wajah kemenangan terukir sepanjang lomba dimulai, Anata terlalu yakin bisa mengalahkan Icow. Meskipun dia sadar, sudah mencurangi Icow. Roda sepeda Anata sudah membelah Jembatan Kretek, sungai yang mengalir di bawahnya kehijauan. Di sebelah timur, perbukitan menjulang tinggi.

Ban sepeda Anata berdecit kencang. Melompat turun. Menggantungkan helmnya di stang, lalu mengibaskan rambutnya. Sembari menunggu Icow, tangan Anata terlipat di dada. Bersiul-siul. Menunggu Icow yang baru nongol di antara kendaraan lain. Napas Icow terengah-engah. Dia langsung memarkirkan sepedanya di sebelah Anata. Mengambil botol minum, menenggaknya cepat.

“Uch…” Icow mengeluh.

“Bagaimana? Kamu kalah. Tepati janji kita!” mata nakal Anata tajam menagih.

“Lomba ini tidak adil, Anata? Mana ada lomba seperti ini? Paling tidak kita harus start  bersamaan. Lha, ini bagaimana?” Icow membela diri, “aku juga baru sampai. Tentu aku harus atur napas, istirahat sebentarlah. Nah, kamu langsung tancap gas.”

“Kalah, ya, kalah, jangan banyak alasan,” kata Anata. Dia tertawa pelan, “kapan kita nonton, nih?”

“Oke-oke, aku ngaku kalah,” Icow pasrah, “sesudah penanaman, bagaimana?”

“Baik,” sahut Anata, dan langsung melompat ke sepedanya, “aku tidak mau ketinggalan melihat sunset  gara-gara mendengar ocehanmu.”

Icow tertawa. Dia pun mengejar Anata.

***

Gulungan ombak Pantai Parangtritis semakin sore semakin tinggi. Buihnya tumpah ke tepian, membuat beberapa pengunjung berlompatan takut basah. Raja siang mulai menjelma membentuk bundaran emas. Anak-anak bermain pasir pantai yang dijaga ketat orangtuanya, pengunjung muda-mudi berfoto saling bergantian. Ada yang mandi di tepi-tepi pantai, sepanjang masih di garis aman, tim keamanan pantai tidak membunyikan pluitnya.

“Sejak dulu pantai ini selalu ramai,” ucap Anata.

Mereka duduk di atas pasir menikmati suasana Pantai Parangtritis. Berselonjor bebas. Kelapa muda dan jagung bakar menjadi pelengkap obrolan senja mereka.

“Ya, selalu ramai. Selagi masyarakat sini masih percaya dengan kekuatan mistisnya. Mistis Nyi Roro Kidul,” sahut Icow ringan.

“Maksudmu?” Anata menoleh ke Icow dengan tatapan serius.

“Para pengunjung dari berbagai sudut Indonesia datang ke Yogyakarta, pasti salah satu tujuannya ke Pantai Parangtritis. Mereka penasaran ingin melihat langsung Pantai Parangtritis, yang dipercaya tempat bersemayam penguasa pantai selatan.”

“Oh, begitu. Kamu sendiri bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” Icow balik tanya.

“Kamu percaya?”

“Percaya dengan Nyi Roro Kidul maksudmu?” Icow memastikan.

Anata mengangguk.

“Aku percaya, setiap yang merusak alam, seperti merusak ekosistem pantai, akan mengalami akibat buruk,” jelas Icow yang tidak mau terjebak pada pertanyaan Anata.

“Ya… ya… aku banyak tahu, kok, tentangmu,” kata Anata, tapi buru-buru diralat setelah Icow mengerutkan dahinya, meminta penjelasan, “maksudku aku tahu dari cerita-cerita Eki soal kamu yang selalu memperjuangkan lingkungan.”

Icow ber-oh.

“Kamu senang melihat sunset?”

“Senang,” jawab Icow pendek.

“Kalau sunrise?” tanya Anata lagi.

“Senang juga.”

“Di antara sunrise dan sunset, mana yang paling kamu senangi?”

Sunrise.”

“Kenapa sunrise?”

“Hm, karena sinar mentari pagi menghangatkan. Dan jika dilihat dari atas ketinggian, seperti di puncak gunung, kita bisa melihat bagaimana detik-detik matahari timbul dari permukaan gumpalan awan. Sinarnya perlahan mulai terang, membuat langit pagi keemasan. Sungguh, bagiku itu indah sekali,” Icow menjelaskan alasannya.

“Kalau kamu?” kata Icow, setelah menyeruput kelapa muda.

“Sunset,” urai Anata lagi, “bagiku sunset sebagai tanda waktu kita untuk beristirahat, setelah seharian melakukan berbagai aktivitas. Kalau dari keindahannya, jingganya langit menjelang maghrib lebih bekemilau dibandingkan sunrise. Nah, momen pada saat deti-detik tenggelamnya matahari yang bulat memerah itu, bagiku itu indah sekali. Entah itu perasaanku saja, atau bagaimana. Tapi begitulah menurutku.

Senja sudah datang. Burung-burung bercicit pulang. Langit memerah matang. Di sebelah barat, bulan mulai terlihat. Satu per satu pengunjung meninggalkan pantai. Para pedagang mulai sibuk mengemas dagangannya. Icow dan Anata malah semakin betah duduk berlama-lama di sana.

“Seperti itu,” tunjuk Ana ke arah matahari yang sebentar lagi ditelan cakrawala, “kita tidak akan pernah jenuh menatapnya, seolah-olah kita ditinggal oleh keindahan. Membuat orang-orang seperti aku, selalu rindu merasakan momentum seperti ini.”

Icow sudah memposisikan duduknya tepat menatap matahari tenggelam.

“Pemandangan yang mengagumkan,” puji Icow.

Beberapa detik lagi raja siang tenggelam sempurna. Anata buru-buru mengambil handphone. Mereka berfoto berlatar belakang sunset di Pantai Parangtritis.

“Lagi-lagi!” ujar Anata, “senyum!”

Icow memasang senyumnya di depan kamera. Beradu senyum dengan Anata. Sempurna, matahari ditelan garis horizon. Menyisakan langit yang kemerahan.

***

Bersambung… [Asmarainjogja.id]

Baca cerita sebelumnya:

Icow Berpamitan

Load More Related Articles
Load More By admin
  • Epilog (Icow)

    Ilustasi aksi | Foto: Fajar Adi Nugraha/Info Cegatan Jogja Asmarainjogja.id-Jalan  Maliobo…
  • Icow 25: Dehidrasi Desa Jepitu

    Ilustrasi Desa Jepitu | Foto doc. Beritagar.id Asmarainjogja.id–Sejak penanaman lida…
  • Icow 24: Hari Perpisahan dengan Uni

    Ilustrasi Bandara Adisutjipto Yogyakarta | Foto. Kompas Hilir mudik para penumpang yang ba…
Load More In Fiksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *