Home Uncategorized Opini Masyarakat Adat Suku Sakai “Tak Diakui Keberadaannya” di Pengadilan Negeri Bengkalis

Masyarakat Adat Suku Sakai “Tak Diakui Keberadaannya” di Pengadilan Negeri Bengkalis

11 min read
4
0
961
Pak Bongku saat didampingi Advokat LBH Pekanbaru | Foto LBH Pekanbaru

Asmarainjogja.id-Kasus ubi kayu yang dialami seorang masyarakat adat Suku Sakai Pak Bongku semakin menyita perhatian publik luas. Musababnya Pak Bongku yang sehari-hari bertani tradisional dituduh menebang pohon dan merusak alam milik PT Arara Abadi (AA). Sepengetahuan Pak Bongku, pepohonan yang ditebang di lahan tersebut merupakan milik leluhurnya, tanah ulayat.

Jadi Pak Bongku menggarap lahan itu untuk ditanami ubi kayu yang akan dijadikan ubi menggalo. Menggalo resik adalah makanan khas tradisional bagi masyarakat adat Suku Sakai. Sebagaimana nasi bagi masyarakat umum. Makan menggalo resik sama artinya dengan memakan nasi. Begitulah pentingnya makanan menggalo bagi masyarakat adat Suku Sakai.

Sebagai masyarakat adat Suku Sakai tentu Pak Bongku mengais rezeki dengan memanfaatkan alam yang ada. Bukan seperti kebanyakan orang pada umumnya yang bisa mengandalkan ijazah untuk bekerja di perusahaan, atau menjadi politikus agar menjadi pejabat di daerahnya. Apalagi membangun usaha atau berkebun sawit, Pak Bongku tak punya modal untuk itu semua.

Maka demi mencarikan uang belanja bagi anak istrinya, Pak Bongku sehari-hari bertani. Profesi yang begitu mulia dan halal menjadi darah daging.

Lahan yang akan ditanami ubi oleh Pak Bongku | Foto Walhi Riau

Tapi perjuangannya sebagai seorang ayah untuk sekadar menafkahi keluarganya harus mengantarkan Pak Bongku ke jeruji besi. Pak Bongku meninggalkan seorang istri, empat orang anak, dan seorang cucu. Penghasilan Pak Bongku yang hanya sejuta per bulan tentu membuat keluarga semakin kesulitan untuk menyambung hidup, karena mereka kehilangan tulang punggung keluarga.

Tentu kejadiaan yang menimpa Pak Bongku dan keluarganya menjadi sorotan warganet Indonesia. Sampai sejauh ini bentuk dukungan agar Pak Bongku segera dibebaskan mencapai hampir 10.000 orang. Bisa dilihat, dan silahkan untuk mendukung Pak Bongku di https://www.change.org/Bebaskanbongku.

Lahan garapan tak seberapa, yang luasnya hanya setengah hektar tersebut berbuntut panjang. Pak Bongku ditangkap security PT AA, kemudian digelandang ke kantor polisi. Dan akhirnya pada 18 Mei 2020, beliau divonis satu tahun penjara dan denda Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) oleh Ketua Majelis Hakim Endah Karmila Dewi di Pengadilan Negeri Bengkalis.

Mau dicari kemana uang sebanyak itu? Untuk bertahan hidup di zaman yang semakin sulit ini saja Pak Bongku harus membanting tulang. Sebagaimana kita tahu bertani bukanlah hal yang mudah, tidak selamanya pula mendapatkan panen memuaskan.

Tanah leluhur Pak Bongku yang seharusnya menjadi tempat berpijak, mengais rezeki, dan bertahan hidup malah membuatnya terhukum di penjara. Tampaknya Pak Bongku, selaku masyarakat adat Suku Sakai tak diakui keberadaanya di Pengadilan Negeri Bengkalis. Kejadian naas itu tidak hanya melukai Pak Bongku dan keluarga saja, tapi seluruh masyarakat adat Suku Sakai di seluruh Indonesia.

Padahal masyarakat adat atau tanah ulayat diakui oleh negara, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, masyarakat adat sudah ada dan berdaulat di tanah ulayatnya sendiri.

Mengutip dari Hukumonline.com, tanah ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Masih pada penjelasan dari laman di atas, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatur bahwa hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peratuan pemerintah. Pengaturan inilah yang menjadi dasar bagi tanah ulayat.

Selanjutnya pada Pasal 3 UUPA dijelaskan: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, dan berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.”

Hal itu pula yang mendorong para praktisi hukum, akademisi hukum, pengamat hukum, mahasiswa hukum, dan seluruh insan yang merindukan tegaknya hukum di Indonesia untuk berjuang membebaskan Pak Bongku.

Pak Bongku di penjara |Foto via cakaplah.com

Kita sadar dan paham, kasus ubi kayu Pak Bongku bukan persoalan beliau saja, tapi ini bisa memberi dampak keberlangsungan masyarakat adat Suku Sakai ke depannya. Eksistensi Suku Sakai di tanah Riau secara keseluruhan. Dan mengingat pula masih banyak masyarakat adat Suku Sakai yang perekonomiannya buruk. Mereka, sebagaimana kita tahu mengandalkan alam untuk mencari nafkah.

Rumah sewa Pak Bongku yang tak jauh dari lahan garapan ubi |Foto Walhi Riau

Persoalannya adalah hutan alami sudah tidak ada lagi, yang ada hutan akasia milik PT Arara Abadi dan kebun sawit milik PT Sinar Mas. Secara tidak langsung masyarakat adat Suku Sakai dikepung oleh hutan milik perusahaan raksasa. Sialnya, jika warga tidak begitu paham soal lahan, nasibnya bisa menimpa seperti Pak Bongku di penjara.

Tentu kita tidak menginginkan ada kasus serupa di kemudian hari. Kita tidak ingin mendengar dan melihat “Pak Bongku-Pak Bongku” berikutnya di jeruji besi karena ingin mengolah menggalo resik.

Putusan hakim yang melukai kita semua itu bukanlah akhir dari perjuangan membela masyarakat adat Suku Sakai. Tapi awal dari sebuah perjuangan, karena kita semakin sadar bahwa Pak Bongku tak bisa berjuang sendiri. Pak Bongku harus ada kita. Siapapun kita bisa ikut andil untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat miskin, buta hukum, seperti Pak Bongku.

Jika kamu seorang penulis maka buatlah tulisan advokasi, jika seorang design grafis buatlah gambar Pak Bongku yang dikriminalisasi, jika kamu seorang anggota atau pimpinan organisasi, kerahkan anggota untuk membela Pak Bongku. Atau siapa saja kamu dengan kemampuan yang dimiliki, kita sama-sama mengawal kasus sampai tuntas, sampai di mana kita menyaksikan masih adanya keadilan di negeri tercinta ini.

Kabarkan ke seluruh teman-teman, kerabat, keluarga, rekan bahwa terjadi kriminalisasi masyakarat adat Suku Sakai Pak Bongku. Katakan pada mereka, bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Hukum hanya tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Dan hukum hanya melindungi korporat, dan hanya bisa memenjarakan rakyat. [Asmara Dewo]

Baca berikutnya: Sedih! Gara-Gara Mau Tanam Ubi di Tanah Leluhurnya, Pak Bongku Dipenjara

Iklan gratis di www.asmarainjogja.id
Load More Related Articles
Load More By admin
Load More In Opini

4 Comments

  1. […] Masyarakat Adat Suku Sakai “Tak Diakui Keberadaannya” di Pengadilan Negeri Bengkalis […]

    Reply

  2. […] Baca berikutnya: Masyarakat Adat Suku Sakai “Tak Diakui Keberadaannya” di Pengadilan Negeri Bengkalis […]

    Reply

  3. […] Masyarakat Adat Suku Sakai “Tak Diakui Keberadaannya” di Pengadilan Negeri Bengkalis […]

    Reply

  4. […] Masyarakat Adat Suku Sakai “Tak Diakui Keberadaannya” di Pengadilan Negeri Bengkalis […]

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *