
Asmarainjogja.id-Bagiku mencoba dan melakukan banyak hal merupakan kegemaran, sebab dari pengalaman yang kita peroleh, kita dapat mengambil hikmah. Selain itu, kita juga mengetahui passion sehingga bisa mencari pekerjaan yang cocok.
Aku sendiri memiliki ketertarikan di dunia fesyen, mengajar, dan literasi. Sewaktu kecil (SD) aku sudah dikenalkan dengan mesin jahit, jarum, dan benang, serta menggambar. Awalnya aku membuat kerajinan tangan seperti keset, sulam, dan tas kecil dari kain perca.
Dunia Fesyen Itu Menyenangkan
Saat SMP (aku bersekolah di MTs), aku mulai membuat baju-baju barbieku dan hiasan seperti rumah-rumahan beserta perlengkapannya. Aku juga suka menggambar busana-busana lucu. Hampir setiap kertas kosong ada gambar karyaku. Nah, dari sinilah ibu melihat bakatku sehingga beliau memasukkan ke SMK Jurusan Tata Busana.
Dunia busana memang sesuatu yang tidak pernah mati sebab setiap saat kita menutup tubuh dengan busana. Setiap tahun pula model busana berganti. Dengan memiliki keterampilan mendesain dan menjahit busana, kita bisa menciptakan pakaian sesuai selera atau tren pasar.
Di samping itu, kita juga memperoleh pemasukan untuk memenuhi kebutuhan atau sekadar menambah uang saku. Semua orang membutuhkan jasa pencipta busana. Meskipun tidak menjahit ke tukang jahit, pasti mereka membeli di toko-toko pakaian yang tentu saja diproduksi oleh pabrik konveksi atau garmen.
Orang boleh memandang sebelah mata terhadap perofesi penjahit, tetapi mereka harus merenung bahwa tanpa jasa para penjahit, tubuh mereka tidak tertutupi. Nah, jadi masih mau memandang demikian? Tidak sedikit orang sukses di dunia fesyen, seperti Ivan Gunawan, Ane Avantie, dan Dian Pelangi.
Memang semua itu membutuhkan kerja keras dan modal ekonomi yang cukup untuk membangun personal branding. Oleh sebab itu, apa pun profesi orang lain, kita pantas mengapresiasi dan menghargainya.
Proses Menyukai Dunia Pendidikan
Semasa SD sebenarnya aku memiliki dua cita-cita, yakni Polwan dan guru. Seiring berjalannya waktu, aku semakin menyukai dunia pendidikan. Kadang aku bertingkah seperti guru di depan teman-teman (menulis di papan tulis sambil berbicara), kadang di rumah juga begitu, berbicara sendiri.
Karena terlalu bersemangat menjadi pengajar, aku sampai membuat rapot-rapotan di rumah yang kuisi dengan nama-nama siswa lengkap dengan nilai-nilainya. Sayangnya, aku tidak punya teman di rumah yang bisa kujadikan sebagai siswa.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin menyukai dunia pendidikan. Bagiku berinteraksi dengan makhluk hidup dengan berbagai karakter dan latar belakang itu menyenangkan. Kita bisa saling berbagi cerita sedih, suka, dan inspiratif.
Ketika mengajar, kita tidak hanya bertindak sebagi penyampai materi, tetapi juga sebagai psikolog yang harus mampu memahami orang lain atau peka. Ya, ternyata siswa-siswa memang mahkluk yang menyenangkan.
Karena ingin lebih matang, akhirnya aku pun melanjutkan studi ke jenjang magister (setelah lulus Strata 1) dengan jurusan berbau pendidikan di Pulau Jawa. Ternyata, ilmu yang kuperoleh semasa S-1 belumlah cukup. Aku semakin banyak belajar.
Semakin kita belajar, semakin merasa bodoh. Kalaupun ada kesempatan atau rezeki lagi, aku ingin melanjutkan studi S-3. Semata-mata untuk mencari ilmu dan berbagi kepada khalayak melalui tulisan dan lisan. Aamiin Ya Rabb.
Tapak Tilas Dunia Literasi

Menjadi seorang pendidik rasanya masih kurang bila tidak menulis. Semacam sepaket. Ibarat kita membeli nasi. Jika tidak dengan lauk-pauk, tentu tidak nafsu makan. Napak tilas dunia tulis-menulisku sendiri kumulai dari bangku SMP.
Kala itu aku senang mengarang. Jika ada tugas mengarang dari guru bahasa Indonesia, aku sangat antusias. Selain itu, aku sangat suka membaca cerita. Sebenarnya, sejak SD aku juga sangat suka membaca cerita rakyat dan cerpen. Aku mulai berinisiatif menulis diary, cerpen komedi-horor, dan percintaan.
Aku sangat senang ketika teman sebangku mengapresiasi hasil karyaku. Dia membacanya. Lalu, aku terus menulis. Kali ini pembacanya saudara-saudaraku. Mereka cukup terhibur dengan cerita konyolku. Aku sempat berkeinginan kelak memiliki buku karyaku. Alhamdulillah terkabul. Allah Mahacinta.
Dahulu (semasa SMK) aku suka menulis puisi dan cerpen. Jika ada lomba mencipta dan membaca puisi, aku selalu ikut. Cerpenku pertama kali dimuat di buletin Ad-dzikri di kotaku saat aku SMK. Karena berkontribusi di media tersebut, aku mendapat hadiah berupa buku bacaan.
Aku menjadi lebih bersemangat lagi menulis, bahkan berkeinginan untuk masuk kuliah Jurusan Sastra Indonesia. Allhamdulilah, keinginanku dikabulkan Allah dan didukung oleh keluarga.
Memasuki dunia perkuliaahan adalah sesuatu yang baru dan penuh tantangan, apalagi berbaur dari mahasiswa dari berbagai wilayah di Sumatera, bahkan luar Sumatera. Hal ini membuatku semakin giat belajar dan berkarya. Aku semakin percaya diri pula untuk menulis. Cerpen dan opiniku sering dimuat di koran di Kota Medan. Aku juga sering mengikuti lomba menulis cerpen.
Sayangnya, setelah lulus kuliah, aku sempat vakum menulis karena sibuk mengajar. Namun, lambat-laun aku sadar bahwa hal ini tidak baik. Aku mengikuti sebuah komunitas menulis, di sana kulihat orang-orang semangat berkarya, bahkan sudah memiliki puluhan buku. Aku pun kembali menulis, lalu menghasilkan novel perdana tahun 2015.
Kecintaanku di dunia literasi pun semakin tumbuh subur hingga sekarang. Dari dunia literasi aku bertemu banyak teman dan pengalaman berharga. Sungguh aku tidak pernah menyesal terjun di dunia literasi meskipun karya-karyaku masih diterbitkan secara indie (bahkan, merugi karena tidak banyak yang membeli). Ah, untung-rugi itu persoalan biasa dalam dunia perbukuan.
Benar, selalu ada cara dan rezeki lain. Aku diminta membuat soal-soal SMP dan SMA (khusus soal prediksi UN) untuk dibukukan dan mengedit naskah orang. Dari situlah aku mencoba bagian lain dari dunia literasi bahwa seorang penulis itu harus bisa menulis apa saja, tidak sebatas cerita fiksi. Aku juga sedang menggarap sebuah buku nonfiksi yang bersisi teori dan aplikasi penelitian sastra.
Percaya saja, seiring berjalannya waktu, kita akan menemukan jalan. Di situ pula kita akan bertemu dengan berbagai hal menakjubkan yang tidak pernah terpikir atau terbayang sebelumnya. Dari situ pula kita bisa mencari uang (menjahit/mendesain, mengajar, atau menulis/mengedit naskah).
Jangan pernah berhenti, terus kejar asamu! Selamat berjuang sampai tergapai dan tetap rendah hati!
Baca juga tulisan Aika:
Budaya Pop Era Postmodern: Antara Tren atau Pemuja Kapitalis
Pendidikan sebagai Pondasi Suatu Peradaban (Refleksi Memperingati Hardiknas 2 Mei 2020)
Di mana Menukar Harga Diri? - Asmara in Jogja
Mei 23, 2020 at 10:52 am
[…] Yulaika Ranu Sastra, penyuka warna biru, cerita perempuan, dan […]
Pendidikan sebagai Pondasi Suatu Peradaban (Refleksi Memperingati Hardiknas 2 Mei 2020) - Asmara in Jogja
Mei 23, 2020 at 10:55 am
[…] Yulaika Ranu Sastra, penulis adalah tenaga pendidik menetap di Sumatera […]
Mengenalkan Kembali Permainan Rakyat di Tengah Era Digital - Asmara in Jogja
Mei 23, 2020 at 10:55 am
[…] Yulaika Ranu Sastra, pecinta kajian budaya, sosiologi, literasi, dan penyuka dunia fesyen menetap di Sumatera […]
Budaya Pop Era Postmodern: Antara Tren atau Pemuja Kapitalis - Asmara in Jogja
Mei 23, 2020 at 10:56 am
[…] Yulaika Ranu Sastra, pecinta kajian budaya dan literasi menetap di Sumatera […]