Home Berita Pemerintah Indonesia Dinyatakan Bersalah atas Pemutusan Jaringan Internet di Papua

Pemerintah Indonesia Dinyatakan Bersalah atas Pemutusan Jaringan Internet di Papua

11 min read
1
0
354
Ilustrasi warga Papua | Foto credit Klaas Schotanus

Asmarainjogja.id-Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan bahwa Presiden Jokowi dan Menteri Komunikasi dan Informatika bersalah. Kasus itu merupakan mematikan jaringan internet oleh pemerintah di Papua dan Papua Barat saat aksi demonstrasi Agustus 2019 lalu.

Sebagaimana diketahaui kabar kemenangan rakyat sipil ini disampaikan oleh kuasa hukum penggugat Muhammad Isnur. “Dan Hakim membetikan Amar Putusan mengabulkan Gugatan dan menyatakan #internetshutdown di Papua dan Papua Barat adalah Perbuatan Melanggar Hukum. Alhamdulillah, panjang umur perlawanan,” tulis Isnur di akun Twitternya @madisnur.

Mengutip dari laman Vivanews.com, Hakim PTUN menyatakan, pemerintah Indonesia diwajibkan untuk memuat permintaan maaf atas kebijakan tersebut secara terbuka di tiga media massa, enam stasiun televisi nasional, tiga stasiun radio selama sepekan.

“Ini wajib dilakukan maksimal sebulan setelah putusan,” demikian amar putusan. Selain itu, “menghukum para tergugat meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khususnya Papua dan Papua Barat,” kata Hakim.

Dikatakan apabila pemerintah melakukan upaya banding, menurut hakim, putusan tersebut tetap dapat dilaksanakan. “Menyatakan putusan atas gugatan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum,” demikian putusan PTUN.

Menurut Jubir Kemenkominfo Ferdinandus Setu pemblokiran jaringan internet itu sudah tepat.

Baca juga:

Novel Baswedan, Singa KPK yang Kembali Memburu

Menjadi Seorang Kapitalisme Itu Mudah, yang Sulit Jadi Sosialisme

“Itu dalam rangka menjaga ketertiban masyarakat karena ada kerusuhan di beberapa tempat dan penyebaran hoax yang cukup masif. Itu sesuai amanat UU informasi dan transaksi elektronik,” ucapnya saat dihubungi. “Kalau terjadi lagi situasi seperti di Papua, mau tidak mau itu akan dilakukan lagi,” kata Ferdinandus.

Sedangkan menurut koalisi masyarakat sipil yang terdiri, antara lain, dari Aliansi Jurnalis Independen, KontraS, YLBHI, dan Elsam, menyebut kebijakan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Kronologi Kericuhan

Mengutip dari Tirto.id, Pada Jumat (16/8/2019) secara tiba-tiba sekitar 15 anggota yang berasal dari TNI mendatangi asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Dorlince Iyowau saat dihubungi Tirto, Sabtu malam, pukul 21.30 WIB mengatakan tanpa permisi mereka menggedor gerbang asrama. Hal itu membuat kaget 15 mahasiswa, termasuk Dorli, yang berada di dalamnya.

Menurut Dorli sekitar pukul 15.20 WIB TNI mendobrak pintu disertai ujaran rasis dan kebencian. Sikap arogan TNI tersebut, menurut Dorli, ditenggarai oleh bendera merah putih milik pemerintah kota Surabaya yang terpasang di depan asrama mereka, tiba-tiba sudah berada di dalam saluran air. Sementara Dorli mengaku, ia dan kawan-kawannya tak tahu soal hal itu.

“Karena kami tidak tahu soal itu (bendera merah putih) di dalam got. Kami minta bernegosiasi. Tapi TNI menolak,” ujarnya. “Dalam dua hari pemasangan (bendera itu) masih baik-baik saja. Munculnya permasalahan itu pada 16 Agustus kemarin tiba-tiba ada di got.”

Setelah TNI tiba dan menggedor gerbang asrama mahasiswa Papua, menurut Dorli, datang lagi secara bertahap pihak Satpol PP dan organisasi masyarakat. Dalam kondisi terkepung, Dorli mengaku harus menahan lapar, begitu juga dengan belasan kawan-kawan lainnya.

Hingga akhirnya datanglah 27 mahasiswa Papua lainnya, yang hendak membawakan makanan untuk mereka pada Sabtu siang, sekitar pukul 12.00 WIB. Dorli dan 41 mahasiswa Papua lainnya bertahan hingga pukul 15.00 WIB, sebelum akhirnya mendapat serangan gas air mata dan mendekam di Mapolrestabes Surabaya.

Baca juga:

“Menjahit Mulut” Jurnalis Farid Gaban

#BoikotTVRI dan Revolusi Tayangan, Dirut TVRI Iman Brotoseno Bisa Apa?

Merambat ke Papua

Tirto.id, pada laporan beritanya menerangkan, perlakuan rasisme yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya tidak segera mendapat respons dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Jawa Timur. Akhirnya pada Senin (19/8/2019) pagi situasi mencekam menyelimuti Manokwari.

Sejumlah jalan protokol diblokir mahasiswa dan masyarakat. Mereka protes karena tak terima dengan rasisme dan persekusi terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang belajar di Jawa Timur. Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani menyebut, massa sempat membakar Gedung DPRD.

Mereka juga merusak sejumlah fasilitas dan membuat lalu lintas di Manokwari jadi semerawut. “Massa cenderung beringas, sehingga kami tak bisa mendekat, Gedung DPRD provinsi sudah dibakar,” kata Lakotani dalam program Breaking News KompasTV, Senin pagi.

Selain di Manokwari, protes juga dilakukan ratusan orang–mungkin ribuan orang–turun ke jalan di Jayapura, Papua. Efek domino aksi massa yang terjadi di Manokwari, Papua Barat juga menjalar ke Kota Sorong. Bandara Domine Eduard Osok menjadi sasaran massa, mereka melempari fasilitas yang ada di bandara tersebut, Senin (19/8/2019).

Baca juga:

Rakyat Miskin “Bodoh” yang Saling Membodohkan dan Menyalahkan

Fakta Tante Ernie (Tante Pemersatu Bangsa) Memang Hot Jadi Berita

Penutupan Akses Internet di Papua

Kompas.com melaporkan Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup akses internet di wilayah Papua dan Papua Barat pada Rabu (21/8/2019). Keputusan ini diambil dengan alasan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan di sana.

Keputusan ini diambil setelah pihak Kementerian Kominfo berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait. Melalui keterangan resminya, Kementerian Kominfo menyatakan telah memblokir penuh akses internet di Papua dan Papua Barat mulai hari ini, 21 Agustus 2019.

“Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana tanah Papua kembali kondusif dan normal,” kata Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu.

Ini adalah kedua kalinya Kemenkominfo melakukan intervensi terhadap akses komunikasi dan internet di Papua pasca kerusuhan yang pecah di Manokwari, Papua Barat.

Menurut Komnas HAM Penutupan Akses Internet di Papua adalah Pelanggaran HAM

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, alih-alih mencegah ketegangan, keputusan pemerintah memblokir internet di Papua justru menambah ketegangan.

“Yang pasti itu melanggar hak, itu melanggar hak asasi manusia. Kalau itu ditujukan untuk mencegah ketegangan yang ada semakin tegang,” kata Choirul kepada Kompas.com, Senin (26/8/2018).

Choirul berpendapat, pemblokiran bukan solusi yang tepat apabila pemerintah ingin meminimalisasi penyebaran kabar bohong atau hoaks. Menurut Choirul Anam, pemblokiran internet justru menciptakan ketidak pastian bagi masyarakat di Papua. Ia menilai, pemerintah seharusnya dapat menindak hoaks tanpa harus memblokir internet di Papua.

“Dengan membuka saluran komunikasi, pemerintah juga bisa mengkomunikasikan banyak hal kepada masyarakat Papua,” kata Choirul. “Lah kalau itu diblokir kayak begini, yang ada adalah masyarakat Papua enggak tahu apa-apa yang terjadi,” ujar dia. [Asmara Dewo]

Baca berikutnya: Makar Itu Pakai Militer, Bukan Pakai Dosen dan Mahasiswa

Cari tahu tentang rapid tes di sini: Yuk Kenali Apa Itu Rapid Test, Biaya, dan Lokasinya

iklan gratis
Iklan gratis
Review obat jerawat
Load More Related Articles
Load More By admin
Load More In Berita

One Comment

  1. […] Baca berikutnya: Pemerintah Indonesia Dinyatakan Bersalah atas Pemutusan Jaringan Internet di Papua […]

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *