Home Berita Antara Budiman Sudjatmiko dan Ketua BEM yang Dituduh Makar

Antara Budiman Sudjatmiko dan Ketua BEM yang Dituduh Makar

7 min read
0
0
535
Foto kolase Budiman Sudjatmiko, Ferry Combo, dan Alexander Gobai

Asmarainjogja.id- “Revolusimu sudah kelihatan gagal, ya?” ucap Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI) Zacky Anwar Makarim dengan sinis. Sekarang BIA menjadi BAIS (Badan Strategis Intelijen) TNI.

Budiman Sudjatmiko pun dengan berani menimpali, “Tenang saja, Pak, ini baru permulaan. Suatu saat akan terjadi perubahan.”

Zacky hanya tersenyum, “Oke, kamu sekarang harus pertanggungjawabkan perbuatanmu,” ujarnya merujuk peristiwa 26 Juli 1996 alias Kudatuli, di Kantor PDI Jln. Diponegoro.

“Oh, iya, Pak, saya akan bertanggungjawab atas apa yang saya lakukan. Tapi tidak akan saya pertanggungjawabkan apa yang tidak saya lakukan. Karena apa yang terjadi kemarin itu adalah kesalahan-kesalahan Bapak semua,” tepis Budiman.

Komandan Satintel BIA Slamet Kirbiantoro sambil memegang tongkat komando menyela dengan nada marah, “Ini yang bikin rusuh, ya? Budiman, kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan itu bisa membunuh banyak orang?”

“Kerusuhan kemarin itu bukan kami yang melakukan, itu rakyat yang marah, itu spontan,” jawab Budiman.

“Pokoknya kamu harus bertanggungjawab,” kata Slamet.

Budiman terdiam. Ia tak ingin lagi mendebat karena bisa membahayakan keselamatan dirinya dan teman-temanya.

Budiman dan teman-temannya diintrogasi selama seminggu. Dia mengaku tidak mengalami siksaan, tapi-teman-temannya mengalami siksaan. Kemudian Budiman divonis 13 tahun penjara atas tuduhan makar. Dan akhirnya bebas setelah mendapat amnesty dari Presiden Abdurarhaman Wahid.

Sumber: CNNIndonesia.com

Ketua BEM Uncen dan USTJ yang Dituduh Makar

Mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih Ferry Combo dituntut 10 tahun penjara atas tuduhan makar. Dakwaan itu karena Ferry dianggap memobilisasi massa pada aksi di Jayapura, Papua, pada 2019 lalu.

“Kalau betul apa yang kami buat lalu dituntut seperti itu kami terima, tapi ini betul-betul tidak sesuai fakta yang terjadi di lapangan pada saat demo maupun di persidangan. Sehingga saya minta dukungan pada semua orang di luar, terutama teman-teman mahasiswa untuk dukung menyuarakan pembebasan kami,” ujar Ferry melalui video yang di-retweet Advokat HAM Veronica Koman, 6 Juni 2020.

Pada video itu Ferry juga mengaku mengalami rasisme dan diskriminasi, “Kami sudah korban rasisme, lalu di persidangan pun kami sudah dilakukan diskriminasi terhadap kami orang Papua.”

Selanjutnya Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Alexander Gobai, juga dituntut 10 tahun penjara karena tuduhan makar.

“Bagi saya ini tuntutan yang diberikan merupakan sikap-sikap rasisme dan diskriminatif terhadap tahanan, maupun rakyat Papua itu sendiri. Saya kembali flashback, bahwa kejadiana rasisme di Surabaya mengakibatkan ribuan rakyat Papua turun ke jalan dengan spontanitas. Dalam rangka itu kami turun jalan menuntut keadilan, kenapa sampai ada rasis di bangsa ini? Padahal telah dimuat dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2018 (maksudnya tahun 2008) tentang Penghapusan Diskirimantif dan Rasial yang telah dibuat oleh negara itu sendiri,” kata Alexander, sebagaimana yang disampaikannya melalui video yang diunggah Advokat HAM, Veronica Koman lewat Twitter, 8 Juni 2020.

Baca juga:

Bergaul dan Komunikasi Lintas Kasta

“Menjahit Mulut” Jurnalis Farid Gaban

“Sebenarnya negara menghargai turun jalan yang dilakukan rakyat Papua itu dalam rangka untuk melindungi sendi-sendi fundamental Undang-Undang dasar 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Ini yang menurut saya sebenarnya negara harus mengakui hal itu, namun pada kesempatan ini sikap rasis dan diskriminatif dalam menuntut korban rasisme seberat 10 tahun penjara,” kata Alexander.

Menurut Pakar Pidana Tindakan Ketua BEM Bukan Makar

Pakar Hukum Pidana Abdul Fiickar Hadjar tuntutan tindakan pidana makar kepada mahasiswa asal Papua, merupakan bagian dari kriminalisasi. Sebab pengertian makar sebagaimana dimaksud Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum terindikasi oleh mahasiswa asal Bumi Cendrawasih itu.

Baca juga:

Makar Itu Pakai Militer, Bukan Pakai Dosen dan Mahasiswa

Novel Baswedan, Singa KPK yang Kembali Memburu

“Makar dalam KUHP Pasal 104 adalah upaya membunuh presiden, Pasal 106 memisahkan diri dari NKRI, sebagian atau seluruh wilayah, dan Pasal 107 menggulingkan pemerintah secara tidak sah atau ilegal,” kata Fickar, sebagaimana dikutip dari laman IDNTimes.com, 8 Juni 2020.

Jika indikasi makar tidak terjadi, maka apa yang dilakukan penegak hukum adalah kriminalisasi.

“Jika hanya menyatakan pendapat tentang pengelolaan sebuah negara, itu bukan makar. Dalam konteks negara hukum-demokrasi itu termasuk kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat,” ujar Fickar.

“Jadi konyol terhadap orang yang kritis dilakukan penuntutan, itu namanya kriminalisasi oleh rezim yang paranoid,” Fickar menambahkan. [Asmara Dewo]

Baca berikutnya: Pemerintah Indonesia Dinyatakan Bersalah atas Pemutusan Jaringan Internet di Papua

Cari tahu tentang rapid tes di sini: Yuk Kenali Apa Itu Rapid Test, Biaya, dan Lokasinya

iklan gratis
Iklan gratis
Load More Related Articles
Load More By admin
Load More In Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *