
Asmarainjogja.id-Beberapa hari lalu saya buat quote di akun Facebook, “Cinta terhalang karena latar belakang pendidikan. Mertua hanya mau menantunya seorang sarjana, jika tidak, mohon maaf yang sebesar-besarnya.” teman-teman saya berkomentar. Ada yang menganggap saya belum menikah sampai detik ini karena menghubungkan ke status tersebut.
Dulu saya sempat berpikiran bahwa orang berpendidikan sebaiknya menikah dengan orang berpendidikan. Agar komunikasi dan saling memahami antar pasangan lebih mudah lagi. Alasannya karena punya latar belakang yang sama, berlatarbelakang pendidikan. Tampak diskriminasi memang. Tapi itu dulu, sebelum saya paham arti pendidikan sebagai pembebasan dari buku Paulo Freir, dan tentu saja Tan Malaka yang memerintahkan sarjana untuk melebur dengan rakyat miskin.
Maka sejak itu sebagai penebus dosa atas pikiran sesat itu, saya berusaha mengangkat derajat teman-teman yang tidak seberuntung saya yang mengenyam pendidikan formal. Toh, saya juga sampai sarjana banyak dibantu orang, kalau dana sendiri tidak akan mampu. Mengingat menuntaskan pendidikan itu biayanya sangat mahal. Selain itu juga berupaya untuk mengamalkan ilmu pengetahuan khusus bagi masyarakat miskin, buta hukum, kriminalisasi karena pendidikan rendah, dan diskriminasi.
Saya punya teman, dia mencintai seorang lelaki dari latar belakang keluarga berpendidikan dan kaya. Mereka saling mencintai, bahkan sampai ke tahap yang lebih serius. Suatu ketika teman saya itu diajak ke rumah orangtua si lelaki. Rumahnya bagus sekali, isi perabotnya terkesan mahal. Mirip seperti rumah-rumah orang kaya di sinetron televisi.
Baca juga:
Inilah Alasan Seseorang yang Ditinggal Menikah Sulit Move On
Berdasarkan Studi, 14 Alasan Inilah Seseorang Menolak Menikah
Setelah mengobrol dengan keluarganya, si ibu lelaki menanyakan latar belakang pendidikan dan keluarga teman saya. Teman saya itu menjawab apa adanya dengan jujur dan lugu. Sepertinya si ibu lelaki merasa ini bukan calon idaman.
Sejak pertemuan itu hubungan mereka perlahan sirna. Tidak tahu pasti apa penyebabnya. Apakah ada intervensi si ibu kepada anaknya untuk tidak memilih teman saya atau bagaimana? Kemungkinan cinta mereka kandas karena calon mertua yang diskriminasi. Si calon mertua hanya mau menantunya seorang sarjana.
Pengalaman teman saya itu terus membekas dalam ingatan. Jikalau semua orangtua menginginkan anaknya menikah dengan selevel, atau memilih latar belakang, kita pada posisi yang tidak adil pada kehidupan. Seharusnya kalaulah bijak ibu tersebut, mengkuliahkan teman saya sampai menjadi sarjana. Lalu menikahkan dengan anaknya. Kan, tidak percuma juga menjadi orang kaya karena sudah memberikan pendidikan pada orang lain.
Lagi pula saya tahu benar, teman saya itu punya keinginan yang kuat untuk kuliah, hanya saja terhalang oleh dana. Untuk menamatkan SMA saja, keluarganya pontang-panting membiayainya sekolah. Apalagi sampai kuliah, keluarganya sungguh tak sanggup. Jadi bukan karena dia tidak mau kuliah, karena keadaan yang memaksanya untuk tidak kuliah.
Apakah adil seperti itu? Kedua insan saling mencintai, tapi karena ibu lelaki tidak setuju, akhirnya sang anak menurut pada ibunya.
Saya mengambil benang merahnya, ternyata sistem pendidikan yang salah melahirkan manusia-manusia yang diskriminatif. Andai saja si ibu membaca buku Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan Paulo Freire dan memahami kerangka pemikiran Tan Malaka dalam hal pendidikan, mungkin kisah cinta teman saya itu berbeda.
Si ibu sepertinya belum mendengar pesan Tan Malaka di buku Madilog, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Kasus sederhana begitu saja dalam ruang lingkup keluarga kita belum bisa adil, apalagi pada kasus-kasus besar dan cukup rumit. Mungkin agar kita berlaku adil dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Karena saya sangat yakin banyak kasus seperti ini di lingkungan masyarakat kita. Mengingat orang berpendidikan dianggap orang yang memiliki status sosial yang tinggi.
Baca juga:
Jangan Bersedih Tidak Wisuda, Bersedihlah karena Masih Banyak yang Tidak Kuliah
Bukan Kualitas Guru Rendah, tapi Sistem Pendidikan yang Salah
Cinta itu suci, sebagaimana dalam bait-bait syair pujangga. Cinta itu soal kemerdekaan, sebagaimana dalam retorika kaum aktivis revolusioner. Cinta itu indah, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini, kata Jean Marais di Novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Tetapi bagi si ibu tadi cinta itu soal “Apa latar belakang pendidikanmu?”
Jika calon menantu tidak sarjana, ya, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Begitulah dalam benak ibu yang tidak adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan, seperti yang pernah dikatakan Pramoedya Anant Toer.
Kita seolah-olah maha tahu dan menganggap orang yang tidak mengecap pendidikan formal pengetahuannya minim. Padahal belum tentu. Orang yang tidak berpendidikan formal tentu dia punya skil dan pengalaman yang patut diapresiasi. Karena setiap orang punya kelebihannya masing-masing. Perbedaannya hanya pada latar belakang pendidikan.
Terlebih lagi zaman sekarang akses pengetahuan bisa didapatkan dari internet, skil bisa dipelajari dari YouTube. Informasi bisa didapatkan dari situs-situs jurnal ilmiah. Berdialektika bisa diterapkan di komunitas atau organisasi. Lagi-lagi perbedaannya hanya soal ada atau tidak adanya ijazah dan gelar yang diberikan oleh instansi pendidikan.
Kalau kita juga mau jujur, para sarjana sekarang juga diragukan isi kepalanya. Dan lebih parah lagi diragukan kerja konkret penerapan ilmu pengetahuannya di tengah rakyat.
Rocky Gerung juga pernah bilang di Twitternya, “Ijazah itu sebagai tanda Anda pernah sekolah, bukan tanda Anda pernah berpikir.”
Jadi berhentilah berpikiran diskriminasi terhadap seseorang karena latar belakang pendidikan. Bahkan jika kita memang berlatarbelakang berpendidikan punya beban moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. [Asmara Dewo]
Baca berikutnya: Berdasarkan Penelitian, Pria Sulit Move On dari Patah Hati