Asmarainjogja.id-Matahari kian ganas menunjukkan panasnya, seakan-akan berada di atas kepala manusia. Menyengat sekali. Jalanan berdebu. Semakin tidak karuan saat asap dari knalpot kendaraan mengepul bebas ke udara. Aromanya tidak bersahabat. Bumi bertambah gerah saja. Hanya di dekat jembatan yang terasa rimbun sebab di bagian tanah yang menjulang ke bawah ditanami pepohonan untuk mencegah longsor jika curah hujan cukup tinggi. Selebihnya tandus. Sepanjang pinggiran jalan dijejali rumah-rumah beraneka arsitektur dan warna.
Sudah lama tidak ada hujan di kota ini. Kota yang padat penduduk. Kota yang selalu menaburkan kenangan bagi sesiapa pengunjung yang datang. Itulah sebabnya kota ini dijuluki “Kota Kenangan”. Meskipun demikian, tidak membuat para pengunjung trauma untuk datang ke sekian kalinya. Mereka justru berulang datang, sekadar jalan-jalan, makan, belanja, atau berfoto ria sambil menikmati keramaian yang tersaji sepanjang masa. Jantung kota ini hanya sunyi jika lebaran sebab para pedagang dan mahasiswa mudik.
Di kota itu pula Ara, gadis berusia 25 tahun bertemu dengan Royyan yang usianya dua tahun lebih tua. Kala itu Ara sedang memilih-milih suvenir untuk saudaranya yang datang dari Medan. Saat yang sama Royyan juga berada di toko tempat gadis berambut panjang itu berbelanja. Namun, pemuda dari timur itu tidak membeli pernak-pernik, tetapi kaos. Mereka bersebelahan saat hendak membayar ke kasir.
“Semuanya seratus tujuh puluh dua ribu, Kak,” ucap kasir dengan lembut.
Ara segera membuka tas kecilnya untuk mengambil dompet, naas. Dia tidak menemukan dompetnya. Dia pun merogoh kocek dalam, tetapi hanya menemukan uang ribuan kembalian naik angkutan umum tadi. Betapa kecewa bercampur malu. Gugup tidak karuan pula.
“Maaf, Kak, ternyata dompet saya ketinggalan di rumah,”Ara merunduk lesu.
“Wah, jadi bagaimana ini? Barang sudah ditotal. Tidak boleh dibawa pulang, dong!” balas sang kasir yang besanggul dengan riasan tebal di wajahnya. Ara semakin bingung. Ingin membatalkan akad jual-beli itu, lalu bergegas keluar menelepon keluarga agar dibawakan uang.
“Sudah, jangan panik! Pakai uang saya saja,” tiba-tiba Royyan menjadi pahlawan bagi Ara.
Royyan mengeluarkan uang ratusan ribu sebanyak dua lembar, lalu menyodorkan ke kasir. Kasir berseragam batik mengambil uang dari tangan Royyan, lalu memberikan kembaliannya. Setelah itu, Royyan membayar belanjaannya. Sementara itu, Ara sibuk menghubungi keluarganya dengan maksud meminta diantarkan uang untuk membayar utang kepada pemuda yang belum dikenalnya.
“Sudah, anggap saja hadiah meski kita tidak kenal,” ujar Royyan penuh percaya diri.
“Tapi ini kan utang, utang harus dibayar,” Ara membantah.
“Terserah kamu saja,” Royyan melayangkan senyum.
“Boleh saya meminta nomor HP, Abang? Esok atau lusa saya akan transfer uangnya,” Ara masih saja bersih keras akan membayar utang itu.
“Boleh.”
***
Ara menunggu angkutan umum yang akan membawanya ke daerah perkantoran tempat sepupunya bekerja. Dia terbiasa naik kendaraan umum meski memiliki sepeda motor. Baginya berdesak-desakkan dengan penumpang adalah suatu olahraga. Bahkan, dia pernah membaca artikel yang menyatakan bahwa naik kendaraan umum membuat badan menjadi kurus. Mungkin itulah sebabnya bobot gadis berdarah Jawa itu tetap stabil. Baru saja duduk di bangku belakang supir, gawainya berdering. Diliriknya, ternyata Royyan yang menelepon.
“Ada apa, Bang? Sudah masuk kan uangnya ke rekening Abang?”
“Sudah kok, kamu ini ya benar-benar mengembalikan uang itu.”
“Ya, namanya juga utang, utang harus dibayar.”
“Oh ya, kalau kamu tidak sibuk, saya mau mentraktir makan lalapan nanti sore.”
“Oh, bisa kok, di mana?”
“Langsung ke TKP, ya? Di restoran Ramisem. Tahu, kan?”
“Siap!”
Ara merasa canggung. Baru saja kenal dengan pemuda itu, tetapi mengapa sudah berani mengajaknya makan? Mungkin lelaki bertubuh kekar itu tidak punya teman. Mungkin juga ingin menjalin hubungan entah apalah setelah ini. Seusai bertemu dengan sepupunya dan mengurus berbagai keperluan penting, Ara pun diantar oleh sepupunya yang bernama Virani dengan motor matic ke tempat yang dimaksud tadi.
Dalam sekerling, Virani lenyap bersama para pengendara roda dua dan empat lainnya. Ara bergegas masuk ke restoran bergaya Jawa klasik itu. Matanya menelusuri seluruh penjuru ruangan, berharap melihat Royyan. Ternyata Royyan memililih duduk lesehan di pojok ruangan. Dekat dengan akuarium dan foto-foto unik yang tertata rapi.
“Sudah lama, Bang?” tanya Ara lembut.
“Sudah sepuluh ribu tahun, Dinda,” balas Royyan berkelakar.
Sejak itulah mereka saling kenal. Menghabiskan waktu bersama jika sama-sama tidak sibuk. Berbagi cerita, cinta, dan duka. Menyeka airmata dan merekah tawa. Marah-benci-kecewa sudah sering mereka makan selama tiga tahun menjalin hubungan asmara.
***
Ara yang duduk di bangku semester tiga di sebuah kampus ternama di Kota Kenangan itu akan merampungkan studi strata duanya, Jurusan Psikologi. Dia membutuhkan banyak waktu dan konsentrasi tinggi untuk menggarap tesis. Beruntung Khalid, seorang dosen di kampus swasta yang semester lalu dikenalnya mau diajak berdiskusi. Khalid baru saja tamat tahun lalu, tetapi langsung bekerja. Ilmu dan pengalamannya luas. Kebetulan mereka sejurusan. Namun, Khalid menempuh strata dua di kampus bergengsi lain di luar provinsi. Itulah sebabnya Ara senang berbicara atau menanyakan hal-hal yang berbau penelitiannya.
Berbeda dengan Royyan. Royyan seorang akuntan. Dia merantau ke kota ini. Sejak S-1 sudah membiasakan diri merantau di kota lain. Untuk memperdalam ilmunya, dia pun melanjutkan studi S-2 di kota ini, lalu diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta pula. Hanya setahun sekali dia mudik ke kampung halamannya di Tidore. Membutuhkan pengorbanan yang besar untuk membendung rindunya kepada sanak keluarga.
Akhir-akhir ini Ara lebih sering menghabiskan waktu dengan Khalid. Saban minggu mereka bertemu di kafe kampus Ara atau di tempat lain. Mereka terlihat semakin akrab seperti sepasang kekasih. Namun, Royyan tidak mengetahui hal ini. Hal yang dia tahu hanya Ara sangat sibuk, tidak boleh diganggu. Ara harus selesai semester ini. Mereka akan menikah tahun depan sesuai dengan wacana yang mereka cetuskan sekian waktu lalu.
Royyan tidak mau kalah bertarung. Dia pun semakin gigih bekerja. Setiap akhir pekan dihabiskannya waktu untuk lembur. Menyelesaikan laporan keuangan atau berkas lainnya. Tubuhnya tampak lelah. Wajahnya tirus. Matanya kian cekung. Namun, dia tetap mengayuh ambisinya. Dia ingin mengumpulkan banyak pundi untuk meminang tambatan hatinya itu. Dia tidak mau merepotkan keluarganya lagi. Selain itu, dia ingin tampak mampu dan bertanggung jawab di depan keluarga Ara nanti sehingga orang tua Ara tidak sia-sia melepaskan putri ragilnya ke pelukan lelaki yang pekerja keras.
Segala mimpi indah sudah terajut dalam rencana lelaki tangguh itu. Dia tidak memberi tahu kepada Ara tentang tabungannya yang sudah mencapai angka enam puluh empat juta. Ara pasti bahagia bila mengetahui hal ini, lalu memujinya dengan berbagai kalimat alay. Bersiap-siaplah mereka mabuk kepayang.
“Ra, kamu sedang sibuk?” tanya Royyan via handphone suatu sore.
“Iya, Bang. Ara kemarin baru selesai sidang tesis dan bulan depan wisuda.”
“Wah, selamat ya! Perjuanganmu selama ini tidak sia-sia. Kamu hebat, Ra! Bisa lulus tiga semester.”
“Hehe, iya, Bang. Ara lembur. Ara sedang ada pekerjaan ini, nanti kita sambung lagi, ya?”
Satu sisi Royyan amat girang, di sisi lain sedikit prihatin terhadap dirinya sendiri. Ara yang dicintainya tidak biasa sedingin itu. Biasanya selalu riang dan banyak bicara. Akan tetapi, kali ini buru-buru mengakhiri percakapan. Segala pikiran negatif segera ditepisnya jauh-jauh.
Baca juga:
***
Di balik mereka yang tertawa merekah, sesungguhnya ada sesosok yang nelangsa. Sosok yang selama ini berjuang pula meski berbeda cara. Sosok yang bertarung dengan waktu, peluh, dan kuyu. Sosok yang kehadirannya tidak diindahkan. Padahal, tiga tahun lamanya pernah mengisi hari-hari gelap, hampa, dan gersang hidup Ara. Namun, hari itu tepat di acara wisuda gadis yang telah tumbuh menjadi manusia dewasa seutuhnya, Royyan datang dengan raut muka masam.
Hari itu juga pemuda berambut cepak itu tidak lagi melihat bunga-bunga bermekaran. Api cinta padam. Air kehidupan kerontang. Ladang asmara terbakar. Burung-burung berhenti berkicau. Pepohonan hanya mampu tertunduk lesu. Semua penghuni bumi turut meratapi kepedihannya. Dirinya yang selama ini mendambakan Ara bersanding di pelaminan, menjadi ibu bagi anak-anaknya. Namun, sudah berubah haluan. Ara memilih Khalid sebagai pendamping wisuda sekaligus pendamping hidupnya.
“Hai, itu siapa? Ayo sini ikut foto!” Khalid yang tidak mengenali Royyan memanggilnya.
“Sebentar ya, Mas…” Ara meninggalkan Khalid. Dia menuju ke arah Royyan yang mematung sendiri.
“Bang, apa kabarmu? Ayo kita bicara di sana!” Ara menarik tangan lelaki yang pernah mengisi hari-harinya, kemudian membawanya ke tempat papan bunga berjajar.
“Itu siapa?”
“Dia calon suamiku. Pekan depan kami akan menikah. Abang ke mana saja?”
“Jangan bertanya begitu! Bukankah aku sudah berusaha menghubungimu, tetapi kamu sibuk.”
“Itu hanya sekali dan Ara memang sangat sibuk. Namun, setelah itu abang menghilang bak ditelan bumi. Khalidlah yang selalu ada. Dia menemani Ara ke mana pun. Berdiskusi tesis dan menenangkan Ara jika sedang stres. Sungguh perjuangan meraih semua ini tidak mudah. Abang yang kuharapkan menjadi teman hidup, justru saat-saat genting tidak pernah ada. Abang sibuk dengan pekerjaan. Entah apa yang abang cari. Materi? Bukankah itu bisa dicari bersama?” Ara menjatuhkan airmata petanda merasakan hal pilu jua.
“Maafkan, abang, Ra. Kita hanya kurang terbuka. Kurang menjaga komunikasi yang baik. Kalau saja di antara kita saling mengerti, menjaga, menghargai, dan menyayangi, pastilah tidak akan begini. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan sang waktu tidak mungkin bisa diulang. Kau memang bukan untuk abang, Ra. Kita dipertemukan hanya untuk menjadi sahabat, bukan teman mengarungi dunia-akhirat,” mata Royyan berkaca-kaca, tetapi dia gengsi bila harus menangis.
Tiba-tiba Khalid datang membuyarkan melodrama yang sedang mereka lakoni. Ara terburu-buru menyeka airmatanya dengan tisu. Lalu, Royyan segera memasang ekspresi gembira, seolah tidak ada perang batin tadi.
“Ini temanmu, Ra? Kau tidak pernah bercerita tentang dia. Perkenalkan saya Khalid,” Khalid melemparkan senyum dan mengulurkan tangan.
“Ya, kami teman yang jarang bertemu. Saya Royyan, Royyan Barasaja,” Royyan membalas uluran tangan Khalid dengan sigap.
“Bagaimana kalau kita berikan juga Royyan undangan pernikahan, Ra?” Khalid mengeluarkan sepucuk undangan dari dalam tas Ara yang dibawanya. Di bagian depan bertuliskan nama ”Arana Devila dan Khalid Fanan”. Royyan menerima undangan berwarna kuning gading itu dengan perasaan hancur. Tangannya gemetar. Dia mencari alasan logis agar suasana tidak menegangkan.
“Baiklah, kalau tidak ada aral lintang, saya akan datang. Selamat ya Ra atas wisudanya dan selamat juga untuk kalian berdua! Kalau begitu saya pamit dahulu, saya memang kurang sehat. Tidak makan dari tadi sehingga agak gemetar,” Royyan berceloteh untuk menutupi kegudahannya. Khalid yang tidak tahu apa-apa tentang mereka tampak biasa saja, sedangkan Ara masih menyimpan kesedihan pula. Dia berada dalam dilematis. Namun, segera ditepisnya segala perasaan bimbang dan bersalah itu. Dia yakin bahwa Khalidlah lelaki yang tepat meski telah menjadi penyelinap dalam hubungan mereka. Dia berharap bahwa Royyan kuat dan bisa berlapang dada menerima semua ini. Tidak ada dendam dan nestapa.
Semua akan baik-baik saja…
(Penulis: Yulaika Ranu Sastra, owner Bengkel Busana Aika, menetap di Pematangsiantar, Sumut)
Baca berikutnya: Aika: Menemukan Banyak Hal Lewat Hobi (Dunia Fesyen, Pendidikan, dan Literasi)
Andai bukan karena cinta, pasti huru-hara terjadi di mana-mana. Andai bukan karena cinta, pasti kita sudah menyerah. Andai bukan karena cinta, pasti memoar perjuangan penuh haru ini tidak akan tercipta.
Beragam kisah apik dan nyentrik yang ditulis oleh dosen-dosen yang mengajar di dalam dan luar negeri tercurah dalam buku ini. Kiranya mampu menyimpan sejarah bahwa para cendekia pernah lahir dan ada untuk mendedikasikan diri dengan sepenuh jiwa demi pendidikan.
Simak berbagai kisah mereka selengkapnya dalam sehimpun tulisan yang mampu mengaduk imaji dan emosi ini…
Pemesanan:
Harga : Rp. 75.000,00 (selama PO, belum termasuk ongkir)
Pengiriman dari penerbit langsung di Yogyakarta.
CP: Aika (085362222630)