
Asmarainjogja.id-Pemerintah pusat sangat ambisi untuk membangun infrastruktur, yakni jalan tol. Namun, apakah itu semua sudah dilakukan dengan baik dan tidak mengalami permasalahan dalam proses pembangunannya? Tentu tidak.
Pembangunan jalan tol ini merupakan proyek dari pemerintah pusat atas instruksi dari presiden Joko Widodo. Yang proses pengerjaannya dilakukan oleh Kementerian Pekerja Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Banyak dari masyarakat hanya melihat hasil tanpa menoleh kebelakang bagaimana prosesnya. Dari proses pengerjaan proyek tol tersebut masih banyak terjadi persengketaan antara masyarakat dan negara. Namun luput dari media pemberitaan.
Tentu ini menjadi permasalahan yang sangat serius. Pemerintah tak boleh abai, demi kemaslahatan orang banyak. Jangan jadikan keberhasilan pembangunan infrastruktur lalu mengabaikan permasalahan rakyat. Karena tak sedikit tanah rakyat yang diambil guna pembangunan proyek jalan tol.
Kali ini penulis akan menceritakan secara fakta bagaimana kondisi yang terjadi di lapangan. Mungkin ini hanya sampel dari banyaknya proyek pembangunan jalan tol yang ada di Indonesia. Yang pada intinya banyakanya permasalahan yang diabaikan oleh pemerintah.
Pembangunan jalan tol Pekanbaru-Dumai, adalah bagian dari jalan tol Trans Sumatera yang menghubungkan Pekanbaru-Dumai yang berada di Riau. Pembangunan jalan tol dimulai pada bulan Desember 2016 yang dibagi menjadi 6 seksi dan panjang keseluruhan tol ini adalah 131,48 KM. Meliputi daerah Pekanbaru, Siak, Bengkalis, Dumai.
Namun, pada proses pengerjannya itu telah merugikan masyarakat. Salah satu masyarakat yang mengalami kerugian, yakni warga Desa Harapan Baru, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.
Pembangunan jalan tol ini melintasi perkebunan kelapa sawit warga Desa Harapan Baru. Masyarakat di desa tersebut dari awal mulai pembangunan mendukung pemerintah. Bahkan beberapa sebagian warga merelakan kebun mereka untuk proyek pembangunan jalan tol tentu dengan jargon “Ganti Untung”.
Karena ruas jalan tol ini membelah kebun masyarakat, sebagian di dalam kampung dan sebagian lagi berada di luar kampung. Jadi mereka meminta agar dalam pengerjaan jalan tol ini untuk memberikan akses jalan. Adapun akses jalan ini dipergunakan untuk mengambil hasil kebun kelapa sawit mereka. Tidak mungkin masyarakat mengambil hasil kebun harus lewat jalan tol, kan?
Maka dibuatlah kesepakatan dua belah pihak antara pengelola jalan tol dan masyarakat. Masyarakat meminta dibuatkan akses jalan ke kebun agar bisa mengambil hasil panen untuk dibawa ke desa. Pihak pengelola jalan tol pun menyetujuinya, akan dibuatkan akses jembatan menuju kebun masyarakat.
Namun hingga saat ini, sampai proyek jalan tol yang hampir selesai pembangunanannya pihak pengelola jalan tol tidak juga memberikan akses jalan sebagaimana yang telah disepakati. Sehingga masyarakat bertanya-tanya dan bagaimana nasib mereka nanti kedepannya?
Akhirnya warga melakukan demo, mereka mendirikan poster yang bertuliskan tuntutan buat Presiden Joko Widodo. Selain mendirikan poster, masyarakat setiap harinya berkumpul di sekitar jalan tol guna menjaga poster mereka agar tidak hilang. Karena sebelumnya, masyarakat diminta menurunkannya.
Agar lebih jelas, penulis mencoba mewawancarai salah satu warga yang terdampak dari pembangunan jalan tol. Berikut wawancara penulis dengan Bapak Muliono.
“Apa tanggapannya terkait pembangunan jalan tol sehingga menutup akses lahan bapak?”
“Kalau tanggapan langsung saja, Pak, namanya orang bawah, ya, kekecewaan kami memang luar biasa,” jawab Pak Muliono.
“Bagi bapak apa begitu masalahnya?”
“Yang nampak bagi kami dikecewakan, kecurangan yang ada,” katanya.
“Apa harapannya untuk proses pembuatan jalan tol ini untuk Bapak sendiri? Sehingga nanti memudahkan Bapak untuk mengambil hasil sawitnya?”
“Harapan kami sesuai dengan janji Jokowi, namanya tol dibangun menguntungkan warga itu mana?” Pak Mulliono balik bertanya.
“Berarti Bapak di sini mendukung pemerintah, tapi pemerintah itu tidak ada feed back nya begitu, Pak?”
“Iya, pas itu! Cuma agak segan ngomongnya,” ucapnya dengan suara yang keras.
“Lahan ini punya warga, tapi terhalang oleh jalan tol, begitu, ya? Sehingga aksesnya tertutup. Jadi, apa yang sebenarnya dijanjikan oleh pihak pembangunan tol ini untuk warga sebelumnya?”
“Sepuluh hektar saja dikasih jalan apalagi segini banyak. 57 hektar dua tumpuk, jadi kami sudah yakin kalau kami pasti dikasih jalan. Bapak Jokowi, kan, baik hati,” ujarnya penuh harap.
“Kalau misalnya jalan ini masih tutup walaupun diresmikan, apa nanti akibatnya kedepan?”
“Ya, akibatnya kami kelaparan, namanya orang lapar, ya, jangan disalahkan apa tindakannya yang akan terjadi kedepan nanti?” ucap Pak Muliono dengan lantang.
Dari wawancara penulis kepada salah satu warga di atas, tentu pembaca dapat menarik kesimpulan. Bahwa memang pembangunan jalan tol tersebut sangat didukung oleh rakyat guna kepentingan negara. Namun seperti kata pepatah “Air Susu di Balas Air Tuba”, begitulah kira-kira.
Pak Muliono mengatakan “sepuluh hektar saja dikasih jalan apalagi segini banyak. 57 hektar dua tumpuk, jadi kami sudah yakin kalau kami pasti dikasih jalan. Bapak Jokowi, kan, baik hati”. Yang penulis ketahui bahwa maksud dari 10 hektar tapi diberi jalan itu adalah kebun sawit milik PT. Murini.
Fakta memang di lapangan ada ketimpangan dan kepentingan yang terselubung. Mengapa sawit milik PT. Murini di istimewakan, tetapi sawit milik warga dianak tirikan? Warga hanya meminta akses jalan tidak lebih, agar mereka bisa bertahan hidup untuk mencari makan dari hasil panen sawit mereka. Karena memang sebelumnya sudah dijanjikan, tapi sekarang pembangunan jalan tol sudah hampir selesai dan sampai sekarang belum direalisasikan.
Selain warga desa, penulis juga berusaha untuk mewawancarai salah satu aparatur desa, yakni kepala dusun yang bernama Pak Mislan. Beliau juga salah satu masyarakat yang terdampak dari pembangunan jalan tol. Karena ada lahan sawit di seberang milik beliau.
“Dari awal Bapak berjuang dari perjanjian-perjanjian yang sudah dibuat, bagaimana kronologinya sampai sekarang ini?”
“Ya, kronologinya, kan, dari awal saya ikut terus, Pak, mulai pematokan pertama itu kita dilibatkan dalam pembuatan jalan tol ini. Mana titik-titiknya itu kita sering diajak sama pihak yang jalan itu dari BPN, dulu dari BPN lah kan gitu. Jadi, saya tau gitu dari awal-awalnya gitu. Jadi dari awalnya itu saya tanyakan sudah bolak-balik sama BPN. ‘Cemana pak jalan yang lahan yang terpotong jalan tol itu? Besoknya apa aksesnya dikasih?’. jawabnya, ‘Oh itu, pak, sudah pasti karena setiap akses yang terpotong dengan jalan tol itu tetap kita fasilitasi, sudah ada pertemuan pak kades tahun 2017, itu sudah ada kesepakatan antara HKI, BPJT semua sudah teken”. Bahasanya mana akses masyarakat yang terpotong akan dibuatkan jalan,” ungkap Pak Mislan menjawab pertanyaan penulis.
“Setelah itu, apakah ada pertemuan dengan pihak tol setelah ada sengketa? Maksudnya sengketa itu yang mana akan dibuat jalan tapi tidak dibuatkan jalan akses untuk mengambil hasil kebunnya begitu, kan? Jadi masyarakat menuntut dibuatkan akses jalan sehingga buahsawit bisa masuk ke desa. Untuk itu apakah ada hitam di atas putihnya (red: perjanjian tertulis)?”
“Ya, itu kami percaya dengan kesepakatan awal aja dari pak kades. Rapat mengenai awalnya mau dibuat jalan tol, kan gitu. Jadi kami sudah percaya. Ya, kita tengok itu dimana-mana jalan tol rasaku dia bila mana ada rakyat masyarakat yang lahannya terpotong tetap dibuatkan gitu. Karena contohnya di Sumatera Utara itu saya lihat itu jalan itu tetap ada,” ujarnya.
“Apakah Bapak tidak merasa ini ada ketimpangan sosial. Yang mana tadi saya melihat ada warga yang berbicara bahwasannya hanya ada sekitar 10 atau 15 hektar lahan dari PT dikatakan perusahaan besar itu diberi akses. Sementara untuk warga sendiri yang 57 hektar itu tidak diberikan akses, apa tanggapan Bapak terkait itu?”
“Ya itu tadi, Pak, di sini ada nampak-nya ada semacam pilisih gitu pak. Jadi nampaknya rakyat yang segini lahannya banyak terkena terpotong sama jalan tol, yang 57 hektar tidak dibuatkan jalan. Ternyata PT. Murini hanya 10 ntah sembilan hektar itu dibuatkan akses jalannya. Jadi di situ kami merasa kecewa kali sebagai masyarakat, kok pihak jalan tol atau Pak Jokowi, mungkin Pak Jokowi juga tidak tahu apa kronologisnya di sini. Cuma kami ingin suara ini didengar ke Pak Jokowi, Pak presiden kita. Kan, gitu?” jawab beliau.
“Untuk harapan terakhir, seandainya tidak diimplementasikan, bahwasannya janjinya tidak direalisasikan begitu. Apa yang akan terjadi kedepannya nanti pak kira-kira?”
“Ya, kalau kami. Kalau sudah suara masyarakat, yang termasuk saya pribadi, juga lahan saya kan ada di sana gitu. Kami semaksimal mungkin sebisanya kami tetap berjuang, kalau pun tidak diberikan akses jalan kami tetap berorasi. Seenggaknya kita inilah mempertahankan hak kami, jelasnya orasi teruslah di jalan ini, kan begitu?” katanya.
“Kita kan selama di sini sebagai warga juga, yang hanya saya lihat yang demo-demo ini hanya sedikit gitu loh. Mungkin hanya sekelompok orang. Apakah nanti akan ada terjadi ledakan besar (aksi masa). Melihat kita jumlah penduduknya besar?”
“Jadi, kan, masyarakat di Desa Harapan Baru ini semua siap mendukung. Cuma berhubung ini hanya masih belum ada yang besar, kami belum mengadakan orasi yang besar, hanya untuk inilah pertemuan-pertemuan kecil jadi kami hanya warga yang ada aja yang kami kumpulkan. Cuma warga Harapan Baru siap, teman-teman kami siap membantu,” jawabnya.
“Berarti ada masa yang besar nanti, ribuan masa, ya?”
“Ya, himpunan itu kami mohon pada warga kami, karena kami kan di sini Harapan Baru bersatu,” sambungnya lagi, “Ya, okelah nanti kita bantu kita turun semua”. Kan gitu, dari mulai RT, RW, itu siap”
“Berarti jangan sampai ada terjadi seperti itu maka dari pihak sana harus memenuhi janjinya, begitu, ya?”
“Saya, Pak, inilah kronologi. Saya sudah capek, saya sama kepala desa sudah capek, Pak. Kami ke sana ke mari kami jumpai HKJT, HKI, awalnya jawaban itu selalu menjanjikan. Jadi masyarakat ini awalnya kalau mau ribut saya tahan, ‘Jangan bu! Jangan pak! Karena ini masih ada solusi lagi jangan, bu! Jangan pak!’ Tapi ini tidak bisa saya bendung lagi, Pak. Jadi saya serahkan ke masyarakat gitu. Saya sudah nggak sanggup, karena janji-janji mereka yang saya jumpai tidak ada hasilnya gitu. Tidak dipenuhi gitu. Surat-surat kan sudah kita tunjukkan sama bapak, ke HKJT, PUPR Provinsi, Kabupaten, itu sudah semua, sudah kita buat. Cuma hasilnya tidak ada gitu,” pungkasnya mengakhiri tanya jawab dengan penulis.
Dari percakapan antara penulis dan Bapak Kepala Dusun tersebut sudah sangat jelas. Jika Bapak Kepala Dusun dan Bapak Kepala Desa sudah mondar-mandir untuk menanyakan kejelasan tentang pembangunan akses jalan menuju lahan sawit. Mulai dari birokrasi tingkat Kabupaten sampai provinsi.
Masyarakat tidak pernah mengganggu proyek pembangunan jalan tol, mulai awal sampai hampir selesainya proyek ini. Yang katanya sebentar lagi akan di resmikan oleh Presiden Jokowi. Melihat kondisi di lapangan masih ada yang belum beres tentu Presiden pun tidak akan segera meresmikan.
Masyarakat dari awal sangat mendukung pembangunan jalan tol ini, namun, kalau seperti ini akhirnya siapa pun pasti akan marah. Masyarakat sampai saat ini tetap berjaga-jaga di sekitar jalan tol area lahan sawit mereka. Dan harapannya pesan ini dapat tersampaikan oleh presiden dan segera membangun akses menuju lahan mereka. Jika tidak, maka akan terjadi gejolak di masyarakat.
Tak banyak permintaan mereka, akses jalan yang kecil hanya lebar 2 meter saja sudah sangat membantu para petani sawit yang ada di sini. Sebab sawit adalah sumber pendapatan mereka. Jika tidak segera dibuat akses maka warga akan berbuat nekat. Rakyat bersatu menuntut hak mereka!.
Penulis: Angin, Penanggung Jawab Internal Komunitas Menulis Bintang Inspirasi
lampiran:
Baca juga artikel Angin lainnya:
Sang Juara Bertahan, Kembali JVC Angkat Trofi
Apakah Media Mainstream Tidak Mau Angkat Kasus Pak Bongku karena Sibuk Berita Corona?
PSBB Bagaikan Burung dalam Sangkar