Home Bisnis Bagaimana Sikap Indonesia dalam Penerapaan Pajak Perusahaan Multinasional Minimal 15%?

Bagaimana Sikap Indonesia dalam Penerapaan Pajak Perusahaan Multinasional Minimal 15%?

10 min read
0
0
40
Ilustrasi surga pajak
Ilustrasi surga pajak | Eleanor Shakespeare

Asmarainjogja.id-Negara-negara kaya pada KTT G-7 membuat kesepakatan untuk menerapkan pembayaran pajak bagi perusahaan multinasional minimal 15% di setiap negara mereka beroperasi. Penerapan itu didorong oleh negara Inggris yang akhirnya disetujui oleh negara lainnya, Amerik Serikat, Jepang, Kanada, Perancis, Italia, dan Jerman.

Mereka beralasan perusahaan multinasional seperti, Facebook, Google, dan Amazon, dan lainnya, yang telah membangun usahanya di dunia hanya memberikan keuntungan yang relatif kecil di setiap negara. ‘Angin surga’ itu tentu saja membuat negara yang selama ini ‘dikadali’ oleh perusahaan raksasa berbasis digital punya harapan.

Menurut Statista, pengguna internet global pada 2021 mencapai 4,66 miliar, sedangkan pengguna media sosial (Medsos) 4,20 miliar. Pengguna Medsos lebih 1,3 juta setiap hari. Mereka menghabiskan waktu di medsos 2,25 menit setiap hari.

Nah, pengguna Facebook di dunia mencapai 3,3 miliar. Di Indonesia sendiri mencapai 140 juta, klaim Facebook dalam sebuah jumpa pers Februari lalu, sebagaimana yang dilaporkan Suara.

DW dalam rilis beritanya mengungkapkan, perusahaan yang dididirikan Marc Zuckerberg juga meraup laba sebesar $11,2 miliar dengan pendapatan $28 miliar. Meningkat 53% dan 33% jika dibandikan tahun lalu.

Awal pandemi memaksa setiap orang untuk tetap di rumah, jika tidak ada urusan genting di luar. Para pekerja pun menggarap kerjaan kantor dari rumah. Rapat tatap muka ditiadakan, diganti dengan Zoom Meeting.

Businessofapps dari Zoom menuliskan dampak pandemi mengantarkan perusahaan itu meraup keuntungan sebesar $671 juta. Selama Mei 2020, ada 200 peserta rapat setiap hari. Bulan berikutnya meningkat menjadi 300 juta.

Di Indonesia sendiri pada Maret 2020 pengguna Zoom mencapai 257,853, di mana sebelumnya pada angka 91.030 pengguna, sebagaimana dilansir Bisnis dari Statqo Analytic.

Indonesia adalah ‘surganya’ pengguna internet. Terlebih lagi gaya konsumtifnya tinggi. Perusahaan multinasional berbasis digital semakin ramai, bak jamur di musim hujan. Setiap tahun selalu hadir dengan aplikasi yang ‘dimodifikasi’ dari para pemain lama. Hal itu bisa dilihat dari aplikasi Helo, media sosial dengan fitur ala TikTok, Instagram, dan Facebook.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan pengguna Internet di Indonesia mencapai 196,7 juta. Sedangkan pengguna media sosial per Januari 2021 mencapai 10 juta pengguna, sebagaimana dilaporkan Detik  dari We Are Social.

Dalam hal berbelanja online, netizen juga semakin candu di e-commerce. Tampaknya mungkin karena kemudahan berbelanja, diskon, dan hemat waktu. Survei GWI (Global Web Index) melaporkan, lebih dari 87% responden pembelian  dari e-commerce. Di market place tersebut mereka mencari barang-barang fashion dan kecantikan

Tak heran, Indonesia merupakan negara paling potensial dalam transaksi ekonomi berbasis digital, seperti yang ditulis mucglobal.com. Riset Google dan Temasek (e-Conomy SEA) pada 2018, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan menembus angka $100 miliar pada 2025, atau menyumbang sekitar 40% dari total ekonomi digital Asia Tenggara yang ditaksir mencapai $240 miliar.

Selama ini transaksi ekonomi digital perusahaan multinasional tidak berefek positif pada keuangan negara. Karena menghindari pajak dari pemerintah dengan alasan yurisdiksi. Padahal mereka menumpulkan pundi-pundi dolar dari Indonesia. Belum lagi negara menanggung rakyatnya dari dampak buruk media sosial dan internet yang ‘semakin liar’. Seperti kesehatan, pembodohan informasi, kriminal di dunia maya, dan lain sebagainya.

Baca juga:

Reaksi Paman Sam Melihat Negeri Panda Melompat Tinggi

‘Indonesia Maju’, Demokrasi Lesu

Bisakah Harapan G-7 Tercapai?

Anggota G7 | Foto The Guardian
Anggota G7 | Foto The Guardian

Reuters mencoba menghitung berapa pendapatan suatu negara jika menerapkan pajak minimal 15% tersebut. Laba global Google pada 2020 sebesar $48 miliar, dari luar Amerika mendapakan $10,5 miliar. Jika penghasilan Google di luar negeri semuanya dikenakan pajak 15%, pajak yang harus dibayar adalah $100 juta.

Fortune mengutip komentar Gabriela Bucher, Direktur Eksekutif Oxfam International, “Hal itu tidak banyak membantu”. Dia mencontohkan dalam konteks Eropa, sebuah perusahaan teknologi besar menghasilkan uang dari pelanggan Belgia, di mana tarif pajak 25%, tetapi tidak membayar pajak atas keuntungannya. Keuntungan dialihkan ke Irlandia yang saat ini tarif pajak perusahaan 12,5%. Atau sebagian besar uang itu berakhir di negara bebas pajak seperti Bermuda, yang dilakukan Google berkantor di Irlandia.

Bukan rahasia umum, para pengusaha kaya di bumi berbasis digital itu juga cerdas, secerdas bagaimana menciptakan penemuan baru yang saat ini dikonsumsi penduduk bumi. Karena selama ini pemerintah Indonesia tak berdaya mendapatkan pajak dari perusahaan seperti Google, Facebook, dan Microsoft, karena alasan yurisdiksi.

Agar perusahaan multinasional bisa dikenakan pajak, harus mendapatkan laba di atas 10%. Pengamat ekonomi luar negeri hal ini sulit diterapkan. Karena kebijakan itu berdasarkan laba akuntansi, yang tentu saja bisa ‘diakali’ agar tetap bebas pajak.

Ronen Palan menanggapinya yang kemudian ditulis Read Dani Rodrik di ips-journal.eu, perusahaan multinasional bisa saja membagi diri menjadi beberapa perusahaan terpisah yang beroperasi dalam aliansi.

Rodrik sendiri lebih menganjurkan sistem perpajakan kesatuan berdasarkan pembagian formularium. Ini berarti memungkinkan setiap negara untuk mengenakan pajak atas keuntungan global perusahaan multinasional, dengan membagi keuntungan formula berdasarkan penjualan, pekerjaan, dan modal, dengan tarif pajak efektif minimim global sebesar 25%.

Hal itu akan menghapus pajak intensuf bagi perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan di sekitar yurisdiksi yang berbeda, dan menyebabkan peningkatan besar dalam pendapatan pajak.

Jika pemerintah mampu menghasilkan pajak dari perusahaan multinasional berbasis digital itu, tentu perekonomian akan semakin baik. Dukungan netizen Indonesia tak perlu diragukan lagi. Sebagaimana diketahui, demi Indonesia Maju, netizen akan bersatu mendukung pemerintah mengejar ‘perusahaan nakal’ yang tak mau berbagi hasil dengan Indonesia.

Tantangan berat ini tentu tak bisa Indonesia lakukan sendiri, harus menguatkan kerjasama dengan negara lainnya. Pasar digital Indonesia akan semakin besar, ini perlu diingat. Sekelas Google, tentu berpikir ulang jika angkat kaki dari Indonesia. Selain itu yang tak kalah penting adalah ‘perang ekonomi’ antara Amerika dan china.

China akan terus berinovasi dalam perusahaan berbasis digital. TikTok salah satu perusahaan yang mengalahkan Instagram dan Facebook. Hal itu pula yaang menjadi nilai tawar bagaimana Indonesia memainkan peran di kekuasaannya sendiri. Mengingat Indonesia adalah negara yang strategis dan sangat berpotensi ke depannya. [Asmara Dewo]

Baca juga:

Memanfaatkan TikTok sebagai Penopang Ekonomi Mandiri (Studi Kasus)

Cara Menyelamatkan dan Mengembangkan Bisnis saat Pandemi Covid-19

Load More Related Articles
Load More By admin
Load More In Bisnis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *