Asmarainjogja.id-Di tengah hingar-bingar dampak Covid-19 telah membuat sebagian masyarakat mengalami mental kesehatan yang buruk. Sebenarnya ini tidak terlalu mengejutkan, sebab segala hal yang mengusik perekonomian dan kesehatan fisik, tentu pula berdampak pada kesehatan mental.
Antara merilis hasil penelitian LPM FEB UI, Covid-19 telah memengaruhi kesehatan mental masyarakat. Kondisi kesehatan mental masyarakat semakin buruk akibat Covid-19, terlihat pada penurunan rasa bahagia, peningkatan rasa cemas, sedih, dan marah.
Hal itu diakibatkan karena kehilangan pekerjaan, mengalami penurunan pendapatan, dan beberapa kebijakan terkaid Covid-19, seperti pembatasan sosial.
Selain itu, tenaga kesehatan juga mengalami hal serupa, kesehatan mental dan fisik mereka terancam karena beban kerja meningkat dan keuangan. Penyebabnya adalah karena mereka tidak memakai APBD yang standar, memakai ulang yang semestinya diganti, dan bahkan harus membeli dari uangnya sendiri.
Ditambah lagi pandangan masyarakat bahwa tenaga medis menularkan Covid-19, sehingga tenaga kesehatan memilih mengurung diri.
Peneletian itu diungkapkan The Conversation setelah mengunjungi 11 rumah sakit di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Lima di antaranya merupakan rumah sakit rujukan Covid-19.
Boleh jadi itu pula penyebabnya kenapa tenaga kesehatan sangat ‘reaksioner’ di internet ketika ada akun-akun media sosial yang mengatakan Covid-19 tidak ada, Covid-19 tidak berbahaya, atau Covid-19 hanya teori konspirasi. Mengingat mereka adalah sosok yang berada di garda terdepan dalam menanggulangi pandemi ini.
Tenaga kesehatan Spanyol juga mengalami hal yang sama. Menurut MinCovid dalam rilis Equal Times, salah satu dari 140 proyek penelitian yang saat ini berlangsung di seluruh dunia melacak dampak psikologis dari krisis, hampir setengah dari petugas kesehatan Spanyol menunjukkan gejala kecemasan, depresi atau gangguan stres pasca-trauma selama gelombang pertama pandemi.
Pengalaman di Yogyakarta
Kebijakan D.I. Yogyakarta cukup bagus atas batalnya lockdown total, mungkin Sultan Hamengku Buwono X belajar dari tahun lalu. Alasan Raja Yogyakarta itu sederhana, beliau tidak mau bertanggungjawab untuk memenuhi semua kebutuhan ekonomi warga Yogyakarta.
“Ya nggak [lockdown] to, nggak ada kalimat [akan menetapkan kebijakan] lockdown, saya nggak kuat suruh ngragati [membiayai] rakyat se-DIY,” ujar beliau yang dikutip berbagai kantor berita di Yogyakarta.
Tahun lalu, hampir setiap dusun dipasang portal. Portal dibuka kembali setelah pukul enam lalu ditutup pukul 22.00 WIB. Warga luar tidak boleh masuk, kalaupun ada anak kos yang baru datang dari luar diisolasi terlebih dahulu.
Nah, yang paling ‘berkesan’ adalah minimnya pengetahuan pencegahan penyebaran Covid-19, warga yang bertugas menyemprot telapak tangan dan kendaraan dengan pembersih lantai. Hmm, aromanya menyegat, dan membuat kepala pusing. Penulis sendiri setelah disemprot merasakan pusing. Untuk meredakan pusing itu, langsung mandi. Alhamdulillah berkurang.
Kalau boleh jujur, sebenarnya penulis sendiri juga merasakan dampak yang luar biasa karena Covid-19 ini. Terutama ekonomi dan mental. Sebelum pandemi, penulis berdagang di Sunday Morning (Sunmor) di UGM. Waktu itu penulis masih mahasiswa, dan mendapatkan akses berjualan dengan rekan yang kuliah S2 Fakultas Kedokteran Gigi UGM.
Jadi hanya membayar 15 ribu untuk lapak berjualan di sana. Berdagang hijab di Sunmor cukup bagus, omzet kami bisa tembus 1,5 juta, pada hari-hari besar bahkan bisa lebih. Dari hasil itu pula bisa membantu dana kuliah dan kehidupan sehari-hari di Yogyakarta.
Jualan kami yang sejak 2017 di Sunmor berhenti sejak kebijakan Rektor UGM melarang Sunmor dibuka. Sejak itu pula kami tidak berjualan, mencoba peruntungan jualan online, tapi hasilnya buruk.
Siapa yang tidak terusik mentalnya, biasa punya penghasilan setiap pekan tetapi tidak ada lagi. Selain itu salah satu penghasilan online dari YouTube juga hilang, akibat kebijakan YouTube sepihak tanpa mau menerima penjelasan. Nyaris dampak ekonomi memang sangat memengaruhi mental pada saat ini.
Awal lockdown total tahun lalu itu juga membuat penulis kurang produktif. Biasanya penulis mengunjungi objek wisata untuk diulas di situs, atau membuat video di YouTube. Objek wisata dan tempat-tempat makan bernuansa alam juga ditutup. Tapi karena penulis ingin tetap menjaga kesehatan mental dari hiruk-pikuk Covid-19, penulis mencari tempat-tempat indah atau yang bisa menenangkan pikiran.
Sudah rahasia umum, di Yogyakarta walaupun bukan objek wisata, banyak tempat-tempat yang indah untuk melepaskan penat atau merefleksikan diri. Bisa di daerah Kulonprogo, seperti persawahan Nanggulan, Sleman area Gunung Merapi, dan daerah lainnya.
Selain itu penulis juga update film-film terbaru yang disalin dari warnet. Penulis memang hobi nonton, selain sebagai hiburan, film juga bisa jadi inspirasi dan menambah kekayaan intelektual. Dan paling penting menjaga kesehatan mental saat pandemi.
Ekonomi Yogyakarta
Tanpa wisata dan pendidikan, Yogyakarta terasa hambar, boleh jadi tidak ‘istimewa’. Terbukti lockdown tahun lalu, mahasiswa pulang kampung. Mereka belajar daring dari kampungnya, yang terkadang terkendala jaringan internet.
Sejak itu pula Burjo (warung makan murah) dan angkringan mulai tutup, sebab biasanya mahasiswa yang makan di sana. Pun kafe juga terkena imbasnya, banyak yang tutup. Kafe bagi mahasiswa adalah tempat berkumpul, rapat-rapat komunitas, organisasi, bahkan konsolidasi.
Dan yang pastinya menumpang wifi untuk mengerjakan tugas atau job kecil, bahkan tak jarang pula mahasiswa sampai ketiduran di sana.
Seperti yang sudah disampaikan di atas tadi, objek wisata tutup. Padahal semua orang juga tahu, wisata bagi Yogyakarta adalah sumber kehidupan. Banyak warga Yogyakarta yang ketergantungan dari sektor pariwisata, dari tukang becak, delman, seniman, pedagang asongan, mulai dari kelas ke bawah, sampai kelas atas.
Objek wisata dan sektor pendidikan adalah perekonomian yang berkelindan memengaruhi kehidupan vital di Yogyakarta. Warga Yogyakarta paham sekali soal ini. Meskipun pada satu sisi harus mengencangkan ikat pinggang, mau tak mau warga sendiko dawuh pada rajanya. Warga percaya, Raja Yogyakarta akan selalu berupaya yang terbaik bagi warganya.
Hal itu juga telah disampaikan oleh Ekonom UII Yogyakarta, Jaka Sriyana yang menilai mahasiswa adalah sumber utama transaksi ekonomi di Yogyakarta, selain pariwisata. Ayoyogya juga melaporkan, Rektor UII, Pro. Fathul Wahidu menyebutkan dari total 357.544 mahasisa di DIY, sebanyak 77% di antaranya (275.308 mahasiswa) merupakan mahasiswa pendatang. Saat mereka pulang kampung, keuangan yang berputar di DIY berkurang Rp833,9 miliar per bulan, atau sama dengan Rp27,8 miliar per hari.
Bantuan senilai 300 ribu yang sempat diberikan itu tentu tidak cukup membiayai kebutuhan warga. Bantuan itu pun hanya beberapa kali saja, bahkan seingat penulis hanya sekali ada pengumuman di grup dusun bantuan tersebut.
Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Worl Bank menuliskan dampak ekonomi karena pandemi di negara berkembang dan berpengahasilan rendah, pendapatan per kapita pada 2020 tidak akan kembali lagi pada 2022. Sebanyak 100 juta orang jatuh dalam kemiskinan ekstrem. Golongan itu adalah kelompok rentan, perempuan, anak, pekerja tidak terampil, dan pekerja informal.
Di Indonesia sendiri, secara keseluruhan pekerja yang terdampak pandemi berdasakan data BPS yang dikutip Kompas sebanyak 29,12 juta orang. Angka tersebut setara dengan 14,28 persen dari keseluruhan populasi penduduk usia kerja yang mencapai 203,97 juta orang. Akibatnya angka kemiskinan pun tembus mencapai 10 persen, sebanyak 27,55 juta orang miskin di Indonesia pada September 2020.
Mau tidak mau, suka atau tidak suka atas data itu, kita sendiri bisa merasakannya sejak pandemi tahun lalu sampai sekarang. Kurangnya asap yang mengepul di rumah membuat mental kita semakin buruk. Ada kecemasan untuk tahun-tahun yang akan datang. Bisakah kita melalui hidup yang semakin sulit ini? Dan pertanyaan yang sering kita dengar adalah kapan pandemi berakhir?
Tentu tidak ada yang bisa menjawabnya, mengingat prediksi berakhirnya pandemi tahun lalu meleset jauh. Pilihannya sekarang adalah bertahan, syukur tidak di-PHK, banyak pekerja lain yang dirumahkan. Dikurangi jam kerja juga bukan pilihan buruk, mengingat pendapatan keluarga harus tetap ada.
Pun begitu bagi yang berdagang atau bisnis lainnya, tidak gulung tikar saja itu keadaan yang cukup baik. Bisa kita hitungnya banyaknya usaha pedagang kecil atau UMKM yang tutup. Menggeliatkan bisnis ke ranah online juga solusi yang bagus. Meskipun penulis sendiri kesulitan berdagang di e-commerce, tapi itu bukan sebagai rujukan. Mengingat zaman sekarang pembeli memang di pasar digital.
Apapun peluang di sekitar sebaiknya diambil saja, terlebih lagi itu punya nilai ekonomis. Dan penulis pikir mengantarkan surat lamaran kerja adalah peluang yang sangat kecil diterima. Tapi tidak ada salahnya juga diantar jika memang terdesak sekali.
Nah, untuk menjaga mental saat ini tentu kita harus berkeyakinan yang kuat bahwa badai pasti berlalu. Pastikan ada sisa harapan-harapan yang baik dalam sanubari. Meskipun kita tahu, optimis itu digerus oleh fakta kejam yang sesungguhnya. Tapi, ya, itulah proses kehidupan. Boleh jadi semua ini menjadikan kita lebih dewasa lagi dalam mengarungi kehidupan.
Skil harus tetap diasah, apapun profesinya, karena kita harus bersiap-siap kapan pun pandemi akan mereda, kita siap berjuang kembali.
Tak kalah penting adalah mengisi hari-hari dengan kegiatan positif. Tentu kita tidak ingin melampiaskan keadaan buruk ini ke hal negatif, seperti memakai narkoba atau mabuk-mabukan. Tentu itu ide buruk yang semakin merusak mental kesehatan kita.
Mungkin bisa mengisi waktu dengan bercocok tanam di rumah, syukur-syukur bisa jadi bisnis. Bagi yang hobi menulis bisa melakukan riset via digital, atau berkarya di rumah sesuai bidangnya. Yang pasti adalah keadaan sulit ini tidak membuat kita menjadi manusia yang pasif. Aktif adalah baik. [Asmara Dewo]
Baca juga:
Imbauan #dirumahsaja, Bagaimana dengan Individu-Individu Berpaham Freedom?
Siapa yang Paling Berdampak dari Virus Corona di Yogyakarta?