Home Kesehatan Pengalaman Istri Melahirkan saat Posisi Bayi Melintang

Pengalaman Istri Melahirkan saat Posisi Bayi Melintang

10 min read
0
0
306
Bayi
Foto bayi kami setelah beberap hari | Dokumen pribadi

Asmarainjogja.id-“Karena anak dalam kandungan istri Bapak melintang, maka harus dilakukan operasi,” kata dokter setelah melakukan USG. 

Saya dan istri terkejut, karena sebelumnya kepala anak kami dalam kandungan sudah pada posisi ke bawah. 

Dengan suara bergetar istri saya bertanya, “Kenapa bisa begitu dokter? Bukannya kepala anak kami sebelumnya sudah di posisi bawah.”

“Posisi bayi melintang itu bisa karena tali pusat bayi yang pendek atau panggul ibunya yang kecil,” dokter itu melanjutkan, “benar, USG sebelumnya memang seperti posisi normal, tapi hasil USG sekarang posisinya badan bayi melintang.”

Istri saya masih belum bisa menerima kabar itu, “Kan HPL saya tgl 26 Februari, Dok, berarti masih ada kesempatan 10 hari lagi. Apakah dalam rentang waktu 10 hari itu kepala bayi saya bisa turun lagi ke bawah.”

“Berapa persen kemungkinan kepala bayi bisa kembali normal, Dok?” tanya saya diselimuti rasa kebingungan. 

Maklum saja ini anak pertama, sama sekali belum berpengalaman menghadapi berbagai permasalahan anak dalam kandungan. 

“Satu persen,” jawab dokter penuh keyakinan.

Kami putus asa mendengar jawaban satu persen dari seorang dokter yang mungkin sudah berpengalaman menyelamatkan bayi. 

“Jadi solusinya bagaimana, Dok?” kejar saya lagi.

“Mau tidak mau harus operasi, Pak.” 

“Kalau operasi kapan bisa dilakukan, Dok?”

“Besok bisa dilakukan operasi, Pak. Dan sore ini ibunya sudah bisa istirahat di RS.”

***

Kami saling tatap kebingungan. Wajah cemas semakin kentara. Kami mencoba hubungi keluarga yang berprofesi bidan dan suster. Juga teman yang pernah mengalami operasi. Jawaban mereka sama, sepakat operasi. 

Di tengah-tengah keputusasaan itu kami juga berunding dengan keluarga, berbagai masukan dari keluarga. Salah satunya adalah urut. Tetapi ini cukup mengerikan, mengingat bayi dalam kandungan sudah 9 bulan.

Kami juga mencoba mencari berbagai informasi di internet dan media sosial. Dan salah satu kenalan istri yang bidan dan cukup berpengalaman mengatakan jangan buru-buru untuk operasi. Karena menurutnya masih ada upaya lain, seperti yoga.

Sejak itu istri  mulai getol banget yoga, seperti posisi sujud dalam waktu yang sangat lama. Posisi terbalik, kepala di bawah dengan posisi yang juga cukup lama. Saya membantunya dengan memegang kursi dan kakinya. Selain itu saya membantu menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan kain jarik. Terakhir jalan cepat saat pagi dan sore hari.

Ternyata saran-saran tak sampai di situ saja, ada lagi menyinari perut istri dengan senter yang sangat terang lalu didiamkan di bawah pusat. Menurut keterangan teman bidan itu, bayi yang berusia sembilan bulan sudah bisa melihat cahaya dari dalam kandungan. 

Tak ketinggalan pula, saya disuruh istri untuk membisiki anak di perut, “Turun kepalanya, ya, Nak, biar mudah lahiran,” ucap saya berulang-ulang. 

Tidak logis sepertinya, tapi apa mau dikata  pada kondisi keputusasaan seperti itu, hal-hal yang menurut kami masih normal tidak ada salahnya dicoba.

Memang setelah melakukan itu setiap malam istri mengalami kontraksi, dia mengalami sakit yang sangat luar biasa. Peluhnya berjatuhan di dahi. Bajunya basah karena keringat. Saya sendiri setiap melihatnya seperti itu tidak tega, saya hanya bisa membantunya kalau dia ingin bergerak ke sana-sini. 

***

Pagi, sekitar pukul empat 19 Februari 2023, istri mengalami tanda-tanda kelahiran, keluar cairan bercampur darah. Kami berkeyakinan sepertinya hari itu adalah hari kelahiran anak kami. Bersama keluarga kami mengantarkan istri ke RS yang selama ini mengontrol kehamilannya.

Sesampai di RS, perawat dan bidan langsung memeriksa. 

Salah satu bidan bertanya, “Bukannya saran dokter dioperasi, Pak?”

Saya bingung menjawab apa, “Coba periksa dulu, Kak.”

Setelah dicek ternyata kepala bayi sudah berada di posisi ke bawah. Karena tidak begitu yakin, bidan dan suster itu pun mengambil alat USG dan memeriksanya. Hasilnya kepala bayi saya memang sudah di bawah. Ajaib. Seperti mukjizat atau apalah. 

Pembukaan satu (istilah tenaga kesehatan pada proses persalinan), pembukaan dua, dan seterusnya setelah diperiksa memang mulai terasa sudah ada kepala bayi. Begitu pengakuan bidan tersebut. 

Keringat jagung bercucuran di kening istri, tampak ia mengalami sakit yang sangat luar biasa. Air matanya sesekali menetes tak kuasa menahan perihnya proses itu. Berkali-kali pula menyebut mamanya agar selalu ditemani. 

“Makin sakit, makin bagus, Kak. Artinya bayinya semakin terdorong mau keluar.” begitu salah satu perawat menyemangati istri. 

Pesan keluarga di kampung juga kami terapkan, yaitu memberikan kuning telur ayam kampung dan minyak goreng. Katanya agar istri tetap bertenaga mendorong bayi keluar, dan minyak goreng itu agar memperlancar. Ilmiah atau tidak, lagi-lagi kami melakukannya pada posisi terjepit. Kami berharap anak lahir dengan normal dan selamat. Begitu juga dengan ibunya.

Pada bukaan ketujuh, perawat sudah menghubungi dokter. Perawat lain sibuk pula menyiapkan peralatan persalinan. Sepertinya ini menit-menit kelahiran anak kami. Rapalan doa tiada henti pula dari mulut istri, sembari meraung merasakan sakit yang berkelanjutan. Wajahnya memerah setiap menahan sakit. Buliran keringat berjatuhan di wajahnya. 

Beberapa menit kemudian dokter yang selama ini memeriksa kandungan Rizka datang. “Luar biasa, kepala bayinya kembali turun,” kata dokter itu sembari memasang sarung tangan. Dokter begitu cekatan membantu proses bayi itu keluar dari rahim.

Saya disuruh dokter itu melihat dari dekat, memang saya sempat melihat rambut anak saya. Tapi saya tidak tahan begitu lama melihatnya. Saya kembali di posisi di samping kepala istri sembari terus menyemangatinya. 

Proses kesakitan itu dilalui istri sampai pukul 12.30. Alhamdulillah, anak kami lahir dengan selamat. Bayi kecil itu menangis merengek setelah keluar dari rahim ibunya. Bayi dalam gendongan dokter itu pun diberikan ke perawat. Sang perawat begitu sigap menggendong dan membersihkan bayi.

Bayi itu perempuan, dengan berat 3,3 Kg dan panjang 47 Cm. Pertama kali melihat bayi itu mata saya berkaca-kaca, terharu melihat istri dan bayi. Begitu mengharukan perjuangan seorang ibu melahirkan anaknya. 

“Assalamualaikum, Nak,” bisik saya ke telinganya.

Penulis: Asmara Dewo, Advokat dan Konsultan Hukum

Baca juga:

Rizka Wahyuni Berbagi Pengalaman Lulus CPNS Dosen

Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan

Load More Related Articles
Load More By admin
Load More In Kesehatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *