
Asmarainjogja.id-“Sepandai – Pandainya Tupai Melompat Pasti Akan Jatuh Juga”, adagium ini sepertinya sesuai dengan kondisi Indonesia. Mungkin elite menganggap bahwa terkuaknya kasus hukum yang menjerat banyak pejabat akhir-akhir ini adalah peristiwa biasa saja. Kita perlu menyadari bahwa kebusukan yang terjadi di tubuh kekuasaan sejak dari dulu.
Namun mengapa baru sekarang terbongkar? Sebenarnya tidak lepas dari masih mengakarnya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang membudaya di kalangan pejabat maupun politisi. Ada fenomena saling menutupi kebusukan demi terjaganya sirkulasi politik yang mereka lakukan.
Analisis seperti apa yang akan kita berikan terhadap sekumpulan bandit dan perompak tersebut? Sementara kerja-kerja kotor yang mereka lakukan tercium ke rakyat. Lihat saja tidak percayanya mayoritas rakyat Indonesia terhadap sistem pemerintahan yang dijalankan.
Terutama terhadap para pejabat dengan gaya parlente yang kerjaannya hanya memamerkan barang hasil korupsi. Harusnya ada evaluasi terhadap cara kita sebagai rakyat dalam menganalisis masalah yang ada. Untuk konteks Indonesia hari ini, sepertinya tidak bisa kita mulai dengan menganalisis kasus per kasus seperti kasus pencucian uang dan korupsi.
Kita mengawali pembahasan mengenai KKN pada kondisi ekonomi politik seperti politikus yang menduduki jabatan tertentu. Mata rantai persoalan ini lahir ketika ada kontrak antara politisi dan oligarki (segelintir pengusaha kaya) yang kedua belah pihak memiliki kepentingan.
Sederet pejabat yang ditempatkan di posisi tertentu bisa saja bentuk balas jasa karena dukungan politik atau keuangan. Karena penempatan posisi ini tidak berlandaskan pada transparansi melalui seleksi. Maka sistem pengawasan dan kedisiplinan internal untuk memastikan pejabat tetap pada koridor pada akhirnya tidak dilakukan.
Saya sangat yakin bahwa ada pengendalian terhadap kejahatan di kalangan pejabat yang dimanajemen dengan rapi. Pola ini kemungkinan dilakukan untuk saling melindungi kejahatan masing–masing. Sekilas dari pernyataan Arteria Dahlan (Komisi 3 DPR-RI) sewaktu rapat bersama PPATK, “Mari saling menghormati antar lembaga, dengan tidak mengumbar aib lembaga masing–masing.”
Terlihat argumentasinya sangat moralis, sehingga terkesan ada kepedulian antar lembaga tinggi di negara ini. Padahal kita tahu bersama, bahwa relasi yang mereka jalani tidak lebih dari relasi politik yang kapanpun bisa berakhir. Sangat tidak make sense apabila saling menghormati disamakan dengan menutupi kesalahan lembaga masing-masing.
Sementara lembaga tempat mereka menjabat adalah lembaga publik yang operasional dan program-programnya berasal dari rakyat. Harusnya lembaga tinggi negara lebih transparan dari lembaga tinggi manapun. Maka dalam membahas situasi Indonesia terkini, variabel-variabel penting seperti politisi, oligarki, penegak hukum, pejabat, buzzer, dan akademisi harus dibahas secara utuh.
Terutama ketika membahas relasi yang terjadi antar aktor di atas. Bisa jadi segala spektrum yang ada ketika sebuah fenomena terjadi adalah sebuah pengkondisian demi setting politik tertentu.
Sekarang Sri Mulyani menjadi sorotan di berbagai media karena kasus pencucian uang yang menyentuh angka 349 triliun. Bisa diduga bahwa situasi ini adalah sebuah pengkondisian terhadap Sri Mulyani yang dianggap tidak sesuai lagi pada arah politik kekuasaan.
Pertanyaan sederhananya adalah mengapa dugaan kasus pencucian uang itu baru terkuak belakangan ini? Sementara data dari PPATK sudah sejak tahun 2002. Bukan hendak membela Sri Mulyani. Tapi melihat kekuasaan dari jarak yang relatif jauh, siapapun yang menjabat di arena politik maupun birokrasi, watak dan karakternya sama saja.
Akan melayani siapa yang mereka anggap tuan, tentu dengan tingkat kebusukan masing– masing. Jadi mari kita anggap bahwa Sri Mulyani sedang kena sial. Sedangkan Erick Thohir, dengan isu yang relatif kuat tetap bertahan, mungkin karena perlindungan oligarki, penguasa, birokrasi, dan buzzer. Terlebih erick thohir adalah Ketua Tim Pemenangan Jokowi di periode kedua ini.
Kembali ke argumentasi saya di awal, lingkaran kekuasaan tak ubahnya dengan sekumpulan bandit dan perompak. Sewaktu-waktu bisa berteman demi mencari rampasan, tapi di waktu tertentu bisa saling membunuh satu sama lain.
Mungkin karena rampasan dibagi tidak merata, akhirnya timbul niatan untuk saling menjebak lalu saling menyingkirkan. Siapapun yang menempati posisi tertentu di kekuasaan, jika keberpihakannya bukan pada rakyat maka yang terjadi akan sama saja. Rakyat selalu saja ditumbalkan.
Gerakan Mahasiswa Harus Mendorong Persatuan

Secara historis, persatuan gerakan rakyat selalu bisa dilakukan ketika ada kesamaan frekuensi dalam menerjemahkan penindasan yang terjadi. Sub dari kesamaan frekuensi tersebut akan melahirkan strategi, taktik, dan penetapan isu bersama.
Penyatuan dalam setiap langkah diambil menjadi penting karena pada akhirnya fokus dari gerakan rakyat terpusat menjadi satu. Indonesia dalam cengkraman neoliberalisme sebenarnya sudah mulai menunjukkan kerapuhannya.
Kondisi ekonomi rakyat hari ini makin hari makin terperosok jauh, bertambahnya pekerja informal karena mereka dipecat dari tempat mereka bekerja adalah contoh yang paling konkret. Ditambah lagi konversi lahan pedesaan menjadi industri yang memaksa petani untuk menjual tanahnya dengan harga yang murah.
Sementara tanah itu adalah satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya. Situasi ini seharusnya menjadi angin segar bagi gerakan mahasiswa untuk memberikan stimulus politik bagi kekuasaan. Gerakan mahasiswa tidak boleh menjadi penonton saja, sementara para elite berkelahi.
Kita ketahui Bersama bahwa drama yang mereka pertontonkan adalah menyangkut bagi-bagi kekuasaan di lingkaran elite. Keributan yang mereka perlihatkan di hadapan publik itu bukan untuk menemukan cara mensejahterakan rakyat, bukan pula menemukan cara memberantas kemiskinan.
Maka mari kita saling mengingatkan diri bahwa jangan terkecoh dengan permainan akrobat mereka.
Fenomena langka ini harusnya bisa dimanfaatkan oleh gerakan mahasiswa untuk mendorong perubahan substansial di dalam negeri. Mahasiswa harus mulai memikirkan langkah alternatif mengenai penyelenggaraan negara yang tepat.
Bangun Kembali ruang-ruang diskusi yang pernah menjadi budaya mayoritas mahasiswa. Lakukan perdebatan untuk menemukan solusi tentang metode perjuangan yang paling relevan saat ini.
Jangan percaya kepada pemerintah yang katanya punya cara memperbaiki negeri. Barisan orang tua itu harusnya membicarakan politik untuk kepentingan rakyat, sebab mereka telah pikun bahwa pada masa mudanya sangat revolusioner.
Hari ini politisi hanya memiliki uang dan kekuasaan, idealisme yang mereka bangun ketika muda telah lama ditinggalkan semenjak syahwat politiknya memuncak. Sedangkan sisanya adalah kotoran dan sampah yang tiap hari mereka bicarakan, yaitu bagaimana caranya mencuri uang rakyat tanpa diketahui.
Evaluasi gerakan mahasiswa mengenai fragmentasi gerakan, ekslusifitas, dan lain sebagainya yang menghambat persatuan harus diselesaikan. Mahasiswa juga tidak boleh hanya fokus dengan peliknya persoalan kampus masing-masing.
Kita semua tahu bahwa biaya pendidikan semakin tinggi, bahwa banyak mahasiswa yang kemudian terpaksa harus putus studi karena tidak sanggup membayar biaya kuliah. Tetapi kasus tersebut tidak berdiri sendiri atau sekehendak alami dari kampus.
Kita yang mau berpikir sistemik pasti mengatakan semua ini karena kebobrokan dari atas ke bawah. Budaya korup yang dibangun pada akhirnya memaksa setiap orang untuk melakukan korupsi. Pun begitu pada perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Maka dari itu protes dan kritik mahasiswa harus mulai disentralisir menjadi satu kekuatan Bersama.
Persoalan rakyat hari ini seperti kehilangan lahan karena digusur demi proyek strategis pemerintah juga berdampak langsung ke kehidupan mahasiswa. Petani yang gagal panen karena pupuk yang mahal juga berdampak pada mahasiswa.
Jadi mari memulai menghentikan perdebatan-perdebatan selama ini yang selalu menghalangi pembesaran gerakan. Sementara kita semua berada dalam sirkuit penindasan yang sama. Dari Sekian banyak kontradiksi yang ada, kita perlu mendiferensiasi terlebih dahulu.
Gerakan mahasiswa khususnya, harus mampu menganalisis setiap kontradiksi yang ada, sehingga mampu membedakan mana kontradiksi pokok dan non-pokok. Hal ini tidak boleh dibolak balik! Karena kontradiksi menyangkut ketepatan melihat kondisi serta ketepatan memilih keputusan maupun berstrategi.
Kontradiksi pada gerakan rakyat bukanlah sebuah hal yang pokok, sehingga setiap kontradiksi yang timbul dapat diselesaikan dalam bentuk dialog maupun autokritik.
Baca juga:
Perppu Cipta Kerja Sah Menjadi Undang-Undang, Lalu Kita Bisa Apa?
Pembela HAM Indonesia di Ujung Tanduk
Belajar dari Keberhasilan Revolusi Pinguin di Chili

Gerakan perlawanan di Chili yang dimotori oleh para pelajar merupakan sebuah contoh gerakan sosial yang cukup progresif pada abad-21 ini. Ada tiga perspektif mengapa gerakan Chili ini sangat kontekstual dengan Indonesia.
Pertama secara geopolitik dan kekuatan ekonomi, Chili itu berada di Amerika Latin dengan kategori negara dunia ketiga yang secara umum hampir sama di Indonesia. Kedua metode membangun gerakan yang sangat kreatif, dan ketiga karena mayoritas tuntutan mereka dapat dimenangkan.
Neoliberalisme di Chili diberlakukan ketika kekuasaan dipegang oleh rezim militer, yaitu Pinochet melalui kudeta militer dari presiden sebelumnya “Allende”. Ada satu kemiripan mengenai kudeta militer ini dengan kudeta yang dilakukan oleh Soeharto terhadap rezim Soekarno.
Menurut Vincent Bevins, kudeta tersebut menggunakan satu metode yang sama di bawah komando CIA. Proses kudeta yang dibangun atas intrik membasmi kelompok yang dituduh kiri, atau komunis. Juga dilakukan dengan mobilisasi massa untuk memberikan legitimasi kepada militer.
Neoliberalisme di Chili telah membangun skema baru di sektor pendidikan tinggi sebagai investasi, komoditas, dan barang mewah. Sehingga hanya segelintir orang tertentu yang bisa bersekolah. Walaupun dipaksakan, akhirnya rakyat akan berutang di bank dengan bunga yang sangat tinggi.
Perlawanan serius dari para pelajar Chili mulai dilakukan pada 2006. Gerakan itu dimobilisasi oleh para siswa menengah atas dengan kisaran umur 15-18 tahun. Tuntutan mereka sangat politis namun tegas “Pendidikan gratis, demokratis, dan penghilangan segregasi dalam Pendidikan”.
Aktivitas para pelajar ini dinamakan “REVOLUSI PINGUIN”, karena seragam putih hitam yang dikenakan oleh para pelajar tersebut. Dalam prosesnya, gerakan ini diperluas hingga melibatkan serikat guru di Chili yang menuntut pendidikan menjadi barang publik yang bisa diakses oleh siapapun.
Lima tahun kemudian pada gerakan yang dimotori pelajar Kembali turun ke jalan dengan kekuatan massa yang lebih besar lagi. Aksi ini sering disebut gerakan musim dingin (Chilean Winter).
Istilah tersebut lahir karena pergerakan yang dibangun semakin bertepatan dengan musim dingin di Chili dan lebih banyak terinspirasi dari penyebutan peristiwa musim semi Arab (Arab Spring).
Mereka melakukan aksi, pemogokan, okupasi, dan aksi-aksi kreatif lainnya selama 7 bulan, terhitung mulai 28 April 2011. Hebatnya Gerakan di Chili adalah mereka sangat terorganisir dan sangat berdisiplin, setiap gerakan yang dilakukan tidak ada yang berdiri sendiri.
Semua gerakan yang dibangun mempunyai organisasinya masing-masing. Adapun yang mengorganisir gerakan Chili sehingga sangat besar dan kuat adalah Konfederasi Mahasiswa Chili (CONFECH).
Dalam konfederasi ini terdiri dari 16 federasi di universitas swasta, dan satu federasi dari organisasi masyarakat adat. Dari serangkaian protes yang dilakukan, kemenangan gerakan menuntut pendidikan publik ini pada Desember 2014. Ketika itu menteri dalam negeri Chile menyatakan akan mengakomodasi tuntutan Gerakan dan memberlakukan pendidikan gratis pada maret 2016.
Pembiayaan pendidikan di tingkat universitas membutuhkan 8,3 juta dolar setiap tahun, dengan memberlakukan pajak progresif 27% kepada perusahaan di Chili. Kemenangan Gerakan di Chili tidak terlepas dari strategi dan taktik politik dalam upaya merebut negara.
Upaya seperti mendorong perwakilan gerakan untuk masuk ke dalam parlemen juga tidak luput dari pembacaan gerakan. Mereka sebenarnya sangat tegas melakukan gerakan politik, terlihat ketika mereka pada akhirnya mendorong Michelle Bachelet Beria sebagai Presiden pada Pemilu 2013.
Bachelet ternyata terpilih pada 11 Maret 2014, kemudian kebijakan mengenai Pendidikan publik ditetapkan pada Desember 2014.
Di Indonesia sendiri kenapa tidak sampai melahirkan gebrakan politik, karena gerakan di Indonesia tidak punya cukup pembacaan untuk step gerakan jangka panjang. Artinya pasca gerakan dilakukan output dan target nya seperti apa, entah mau mendirikan suatu wadah persatuan seperti di Chili atau seperti apa?
Perlu kita akui bahwa gerakan rakyat di Indonesia tidak mempunyai imajinasi sampai kesana. Berangkat dari contoh keberhasilan revolusi pinguin, gerakan yang mereka bangun sangat terintegrasi dan multisektor. Bukan hanya mahasiswa dan pelajar yang bergabung, tapi serikat buruh dan serikat rakyat lainnya juga bergabung mengawal isu pendidikan yang mereka angkat sejak awal.
Kita ambil contoh “Reformasi Dikorupsi”. Hastag ini lahir dari seperangkat evaluasi pasca reformasi yang ternyata tidak banyak melahirkan perubahan bagi rakyat. Contoh yang kedua adalah “Mosi tidak percaya” sampai Gerakan menolak pengesahan OMNIBUS LAW pada 8 Oktober 2020 juga hanya menguap di permukaan.
Tidak ada sama sekali tindak lanjut dari gerakan yang dibangun, padahal dengan kuantitas hingga ratusan ribu bahkan jutaan massa yang tersebar di seluruh daerah indonesia harusnya dapat menciptakan tekanan politik yang besar terhadap kekuasaan.
Perlu diapresiasi bahwa sangat banyak pihak yang menjadi simpatisan dalam kedua contoh Gerakan ini. Sayangnya membesarnya gerakan di Indonesia seperti yang termanifestasikan pada Reformasi Dikorupsi dan Mosi Tidak Percaya ternyata tidak memiliki pembacaan jauh sama sekali.
Akumulasi protes yang selama ini menjadi duri dalam kepala setiap orang pada akhirnya hanya menguap. Agar gerakan mencapai politik yang jelas sehingga dampaknya dirasakan rakyat, maka gerakan harus menyusun road map dan perencanaan yang jelas.
Sebab tidak akan pernah tercapai suatu tuntutan jika gerakan rakyat masih mempertahankan metode gerakan spontanitas. Gerakan rakyat juga harus melihat bahwa konflik internal dalam tubuh kekuasaan, entah itu masalah pajak, bakal calon presiden, dan lain-lain akan kita anggap sebagai peluang.
Artinya mumpung dalam tubuh kekuasaan sedang bertarung syahwat masing masing, kenapa tidak gerakan rakyat datang dengan satu pukulan yang mematikan. Jika tuntutan sewaktu Mosi Tidak Percaya adalah Bubarkan DPR dan bangun Dewan Rakyat, maka ketegasan tuntutan kali ini harus lebih maju lagi, dan harus lebih spesifik lagi.
Sebagai penutup, jika fragmentasi gerakan, polarisasi, dan sekat-sekat pada gerakan Indonesia masih saja terjadi, maka perlu diakui bahwa imajinasi kita tentang revolusi pinguin di Chili masih terlampau jauh dipraktikkan.
Referensi
Novianto, A. (2017) Revolusi Penguin dan Gerakan Musim Dingin: Belajar dari Pengalaman Perlawanan Pelajar di Chile. Diakses pada 25 Maret 2023
Bevins, V. (2020). Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang.
Hernecker, M. (2015). Sosialisme Abad Keduapuluh Satu: Pengalaman Amerika Latin, Resist Book.
Penulis: Wahid Hermawan, selain aktif di gerakan rakyat, juga Koordinator Wilayah KPR (Kesatuan Perjuangan Rakyat) Yogyakarta. Penulis bisa dihubungi melalui 081228680905
Baca juga:
Koordinator KPR Yogyakarta Wahid Hermawan: Konsisten Mengawal Kasus Salah Tangkap Klitih
Menyikapi Rezim Penindas, KPR Menyerukan Bangun Partai Massa Rakyat